Butuh Media Literacy Untuk Pilkada

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di rakyat Pos edisi Juni 2010
Media merupakan ikon baru dalam atmosfer kekinian publik. Media merupakan integritas manusia modern dimana pencitraan diri modernitas itu sendiri terepresentatifkan dalam media. Media memang kaya dengan informasi, namun media juga sarat dengan “ilusi” yang secara tidak sadar sering terimitasi dalam bingkai pemikiran masyarakat konsumennya. Wajar, karena media sendiri merupakan realitas baru yang tidak dapat dipisahkan dari bagaimana “kredo nilai-nilai” disuntikkan para pemilik media kedalam imajinasi publik.
Dalam pilkada di berbagai daerah tahun ini sudah pasti para kandidat akan memanfaatkan media. Disini terkadang para “ideolog” media menghadirkan realitas-phobia, yaitu menyangkal realitas lapangan sebagai kebenaran tertinggi dan lebih suka mengolah dalam resep inovatif sesuai pakem nilai-nilai yang mereka anut. Persoalan pakem ini akan menjadi problematika pers yang tidak sehat jika pakem dimaksud merupakan “pesanan” dari publik figur yang ingin dibesarkan media. Bukan rahasia lagi, jika banyak media terutama yang beradius lokal kedaerahan dan bermodal cekak ikut berperan melambungkan citra seorang kandidat dalam pertarungan politik. Mereka berupaya mengolah para kandidat sehingga tampil flamboyan di depan publik. Ironisnya, dalam politik media sendiri, publik sebagai konsumen berada dalam posisi subordinan karena absennya bargaining dalam relasi resiprokal media dengan publik. Publik diharuskan mengakses ide dan pemikiran media tanpa harus menawar berapa “takaran” yang ingin dikonsumsinya. Bisa jadi, publik diharuskan menerima “logika ilegal” bahwa salah satu kandidat adalah heroik, romantis, flamboyan.. Dalam kasus tersebut, kritisisme dalam membaca signs dan simbol yang terdistorsi dan disinformasi akan lumpuh. Publik tidak memiliki filter untuk membedakan simbol yang asli dan mana yang sebenarnya hanyalah kemasan tampan dari “kesadaran palsu”.
Media memang ampuh untuk menciptakan pemberdayaan otonomi publik, tapi media pula yang justru memandulkan nalar demokratis dengan sajian tradisi berpikir simplistik, temporal dan dikotomis. Terkadang, Pseudo reality kerap dihadirkan terutama dalam momentum politik seperti pilkada. Aktor-aktor politik berebut menampilkan diri seelegan dan seheroik mungkin dalam pentas iklan media. Politik media bisa menumpulkan akal massif karena publik sendiri tidak memiliki kapasitas untuk melacak disfungsi dari pesan politik yang membanjir. Surface information (informasi permukaan) dianggap sebagai kebenaran sesungguhnya. Bisa jadi, akan lahir pemujaan bintang (hero fetishism) sebagai instrument irrasionalitas demokrasi kita.
Ironisnya, masyarakat justru merasa semakin pintar dengan banyaknya informasi yang dapat dikonsumsi. Masyarakat menganggap bahwa informasi sinonim dengan ilmu dan wawasan baru, padahal informasi hanyalah data pendahuluan dari sebuah ekspresi komunikasi yang lebar. Simplifikasi berpikir seperti ini, jelas bukan efek positif pers yang sehat, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena politik tertentu. Terlikuidasinya prinsip berpikir kontemplatif dalam mencermati setiap informasi permukaan yang tersaji justru merupakan pendulum terciptanya masyarakat ilusif.
Menghadapi momentum politik regional seperti Pilkada, penggalakan media literacy perlu dilakukan dalam eksterioritas kekinian publik. Disfungsi politik yang sering terjadi akibat bias media dalam pencitraan “politik publisitas” dapat diakhiri jika publik sebagai konsumen memiliki unit analisa mendalam yang tangguh dalam menghadapi banjir berita yang tidak selektif. Melek media bagi publik minimal dapat menghidupkan kembali cita-cita masyarakat informatif yang well-informed sebagai prasyarat civil society yang demokratis. masyarakat informatif sendiri hanya dapat berdiri jika studi tentang media dapat diakses secara egaliter. Harus diingat bahwa masyarakat yang sadar media bukanlah masyarakat yang rajin mencari informasi tapi mereka yang capable memisahkan antara informasi yang benar dan informasi sampah yang palsu atau yang dalam perspektif Noam Chomsky (1988) disebut sebagai necessary illusion (ilusi yang dibutuhkan). Langkah pendidikan melek media ini diperlukan sebagai strategi preventif mengantisipasi bias informasi yang mungkin terjadi pada media sehubungan dengan momentum politik.
Trend pendirian media seperti koran dan tabloid di berbagai daerah semakin membuka peluang lahirnya ekspresi politik simbolik bagi masyarakat penikmatnya. Apalagi jika media-media yang baru berdiri tersebut hanya memiliki orientasi pasar dan bukannya sebagai gerakan penyadaran melek media. Media-media lokal sejujurnya menempati posisi paling eksplosif dan rentan dalam menghadirkan bias informasi karena media ini justru lebih banyak diakrabi konsumen agraris yang kurang terpelajar serta terkadang dibagikan secara gratis oleh institusi-institusi tertentu. Media-media cetak lokal yang membanjir sejak empat tahun terakhir juga relatif tidak mandiri daripada media nasional yang established disebabkan problem finansial. Berbeda tentunya dengan media nasional atau jaringan kerja media lokal yang secara hirarkis berada di bawah kelompok sebuah media nasional tertentu. Media-media ini lebih banyak terkonsentrasi serta terkelola secara proffesional journalism.
Dengan penggalakan media studies yang baik pada masyarakat, bukan hanya demokrasi sipil yang mudah untuk diwujudkan tapi juga secara otomatis dapat menepis black champaign dan juga character assassination yang dimungkinkan terselip dalam hidden agenda media-media partisan. Lingkungan simbolik (syimbolic environment) dan juga lingkungan palsu (pseudo environment) yang tercitrakan dari media dalam proses politik masa depan setidaknya tidak akan dianggap sebagai realitas tertinggi yang dapat menumpulkan akal demokratis. finalitas yang tercapai adalah eksisnya kemandirian politik publik secara informal terutama dalam merespon isu-isu politik lokal dan nasional.

Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ(Universitas Jember).

Tinggalkan komentar