Category Archives: Radar Surabaya

Ulamadan Umara Piawai Menulis

Oleh: Syarif H. Santoso

Dimuat di Rubrik horizon Radar Surabaya 27 April 2014

             Indonesia modern ternyata memiliki almarhumK.H Sahal Mahfudh yang baru wafat sebagai penulis kitab legendaris. Karya kyai Sahal begitu mendunia danensiklopedis. Karyanya, Thariqatul Husul menjadi master dalam kajian ushulfikih kontemporer. Kitab tersebut juga dikaji di Universitas Al Quran Sudan.Sebagai ulama, Kyai Sahal mencontohkan bagaimana wawasan keagamaan harusbersilsilah dan tetap ditransformasi meski Islam telah kaya dengan kitab kuning dan buku. Sementara SBYtiba-tiba tampil dengan buku “Selalu Ada Pilihan”. Terlepas kontroversipencitraan, propaganda informasi ataupun unsur politik Pemilu, buku karanganSBY layak diapreasiasi. Sebagai umara, SBY telah mencontohkan bagaimana seorangpemimpin meninggalkan jejak dalam sebuah buku.

Ulama dan Umara kita sebenarnya  memiliki satu kelebihan yaitu menulis. Inidicontohkan secara mikroskopis di Indonesia. Dulu, Sultan Agung terkenal denganSerat Gending, sebagaimana Sunan Kalijaga mengarang Suluk Linglung. Kedua kitabtersebut berbicara dalam tema berbeda. Serat Gending tentang filsafat kehidupantermasuk politik, sedang Suluk Linglung tentang cipta rasa beragama orangsaleh.

Bolehdikata telah terjadi harmonisasi antara para ulama dan umara di negeri ini.Terkadang keduanya menempati posisi berbeda dalam menulis kitab. Para ulamamenulis kitab ilmu agama sementara para raja mengarang kitab tatanegara atauhukum negara. Namun adapula raja atau ulama yang menyatukan tema tatanegara danagama dalam satu kitab. Contohnya Bustanus Salatin karya Al Raniri yangterkandung didalamnya agama, tatanegara, hukum dan sejarah, juga PangeranDiponegoro dengan Babab Diponegoronya yang mengungkapkan kepada dunia tentangpertautan Islam dan khazanah politik Jawa.

Karya para ulama dan umara  saling melengkapi dalam peradabannusantara,  meski pernah terjadipertentangan politik ulama versus umara. Contohnya, Sultan Agung yangbermusuhan dengan Giri Kedaton. Pandangan dunia Sultan Agung sejalan dengan idepara Wali. Serat Ageng Sultan Agung ternyata justru melengkapi sisi politikyang tak tercantum dalam Serat Asrar karya Sunan Giri Prapen.

Indonesiamodern mencontohkan Soekarno dan Gus Dur sebagai figur piawai penulis. Keduanyatampil dengan identitas masing-masing. Jika pada Nusantara klasik, para ulamadan umara bisa berbeda dalam politik dan seirama dalam gagasan, pada Indonesiamodern justru sebaliknya, berbeda dalam gagasan dan sejalan dalam politik.Soekarno memiliki pemikiran keislaman sebagai efek persentuhannya dengan tokohIslam modernis Ahmad Hassan. Karangan Soekarno seperti Nasionalisme, Islamismedan Marxisme menunjukkan apresiasi Bung Karno terhadap Islam. Tapi,keberpihakan Soekarno lebih kuat pada Pan Islamismenya Jamaludin Al Afghani danMuhammad Abduh seperti terbaca dalam Pantja Azimat Revolusi. Hal inimenyebabkan Soekarno tak akur secara gagasan dengan NU. Namun, Soekarno jugapendukung Mustafa Kemal Attaturk yang menyebabkan dia tak akur pula denganIslam modernis. Dalam gagasan, Soekarno memang abai dengan NU namun dalampolitik, NU adalah kawan nyaman pasca tercetuskannya konsep Waliyyul Amri AdDaruri Bissyaukah dan Nasakom.

Berbeda pula dengan Gus Dur. Dalamdiri Gus Dur bersatu unsur ulama dan umara sekaligus ketika Gus Dur menjadipresiden. Karangan-karangan Gus Dur yang dikumpulkan dalam berbagai bukumenunjukkan  persentuhan beragam variansejak Islam Tradisional, modernisme Islam dan juga nasionalisme. Gus Durmengawankan kembali antara Islam tradisional, modernisme Islam dan kebangsaanmelalui kosmopolitanisme tulisan-tulisannya. Buku, ulama dan umara bersatulanggam dalam diri Gus Dur.

Jika para ulama dan umara mampu untuk menulis,kenapa kita tak bersetia hati untuk juga menulis demi eksistensi sebagai rakyatdan umat.

Penulisadalah Alumni Hubungan Internasional FISIP UNEJ

Wanita Dalam Lingkaran Kuasa

 

 

Wanita Di Lingkaran Kuasa

                                                Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Dimuat di Rubrik Horizon Radar Surabaya 19 Mei 2013

             Ahmad Fathanah benar-benar berada dalam lingkaran wanita-wanita cantik nan menggoda. Terlepas dari motif relasi sosial untuk menggunakan wanita-wanita tersebut sebagai komoditas dalam setiap kampanye untuk menarik massa, persoalan Fathanah dan para wanita ini menarik untuk dicermati.

            Ahmad Fathanah adalah lulusan sebuah universitas berbasis agama di Arab Saudi. Pemahaman agamanyapun sudah pasti mapan. Namun, apakah pemahaman agama itu lantas mampu menjadikan Fathanah lepas dari godaan wanita. Kita teringat sebuah adagium Carol Tavris yang berbunyi “Yang paling bersahabat dengan Agama adalah wanita, pun yang paling tidak bersahabat dengan wanita adalah agama”. Sebuah adagium yang menarik dan memikat. Kuasa agama sepertinya memiliki relasi brilian dengan wanita. Tak ada insiden agama yang tak melibatkan wanita bahkan sejak masa Nabi Adam di Surga. Para nabi rata-rata memiliki insiden baik positif maupun negatif dengan wanita. Nabi Adam dengan Hawa, Nabi Luth dengan istrinya, Nabi Yusuf dengan Zulaikha, Nabi Sulaiman dengan Balqis, Nabi Ayyub juga dengan istrinya, Nabi Ibrahim dengan Hajar dan Sarah, bahkan Nabi Muhammad dengan Khadijah sejak awal turunnya wahyu. Semua insiden itu menjadi berarti justru karena ada wanita.

            Wanita menjadi kosmologi surgawi yang menarik. Kenikmatan surga menjadi lebih berarti dengan adanya bidadari. Bahkan menurut Imam Junaid Al Baghdadi, wanita dibutuhkan laksana makanan (Ali Ahmad Al Jurjawi dalam Hikmah Tasyri’ Wa Falsafatuhu). Namun, Al Quran memiliki posisi seimbang dalam mendudukkan wanita. Contoh insiden Zulaikha versus Nabi Yusuf yang memberi isyarat bahwa adakalanya wanita sendiri memiliki dominasi tinggi dalam public sphere dan penguasaan opini. Insiden dipenjaranya Yusuf karena fitnah Zulaikha sebenarnya menunjukkan bahwa wanita terkadang memiliki porsi superior dalam tatanan relasi kuasa.

            Di negeri ini wanita memiliki kuasa dalam politik baik terlihat maupun tersembunyi. Para wanita yang bersembunyi di balik polesan ibu bupati, ibu gubernur, ibu ketua DPRD, sampai ibu lurah boleh jadi memiliki bisikan politik terhadap para suaminya. Benar para wanita itu hanyalah istri dari para pejabat, namun sangat mungkin status sebagai istri itulah yang melahirkan rayuan politik kepada para pejabat. Para istri pejabat seringkali dijadikan pintu masuk pihak luar untuk menerabas kekuasaan Banyak insiden negeri ini sejak kebijakan politik sampai korupsi sebenarnya hasil dari rayuan para istri atau ibu-ibu pejabat. Di masa Yusuf, Zulaikha bisa jadi berperan sebagai pembisik kepada suaminya, Al Azis, agar mau memenjarakan Yusuf.

            Dalam kosmologi Jawa, wanita dalam kecenderungan seksual didudukkan setara dengan norma dan harta. Trilogi dalam kesusasteraan Jawa menyebut tiga unsur pokok yaitu Dharma (Hukum), Artha (harta) dan Kama (rasa untuk bersenggama). Konsep Kamasutra atau Kamatantra dalam Kosmologi Jawa yang terpengaruh Indianisme menjadi satu sisi subtil dalam tradisi Jawa.

            Dalam Kamasutra wanita adalah subyek bukan obyek, karena lelaki tiba-tiba luluh lantak dalam permainan Asmaragama. Dalam politik, para lelaki dengan aneka status sejak pimpinan parpol, pejabat legislatif sampai pemegang kebijakan eksekutif akan luruh dalam rayuan wanita ironisnya tanpa disadari bahwa wanita-wanita itulah sebenarnya pemegang kuasa. Beberapa insiden negeri ini menceritakan karir seorang pejabat baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif bisa runtuh karena wanita. Contoh adalah kasus pernikahan kilat bupati Garut Aceng Fikri dan Fany Octora, video porno Yahya Zaini dan Maria Eva serta celotehan calon hakim Agung, M. Daming Sanusi tentang wanita yang menikmati perkosaan. Semua cerita tentang wanita bisa menyebabkan kisah tragis bagi para pejabat publik.

            Kuasa wanita hanyalah sebuah percaturan dari norma-norma dan kuasa negatif. Jika percaturan itu baik, maka normalah yang mengemuka. Sigmund Freud menyebutnya sebagai supereogo. Dalam teori psikoanalisa, superego dimaknai penyaluran seksual yang disesuaikan dengan norma sosial yang berlaku. Menikah adalah ekspresi superego dimana norma sosial tentang kehormatan dan legalitas sebuah relasi intim dapat terjaga. Dalam superego kuasa laki-laki terhadap wanita terminimalisir dan menjadi seimbang. Egaliterianisme menjadi cermin utama karena dalam psikoanalisa seksual, wanita merupakan lelaki yang tidak sempurna. Menyatunya lelaki dan wanita dalam sebuah pernikahan berarti legalisasi penyempurnaan atas ketidaksempurnaan wanita. Adanya lelaki sebagai suami akan menutup kekurangan bagi seorang wanita.

            Imam Ghazali mengatakan bahwa mujama’ah sama seperti kenikmatan surga. Kontak seksual jika berada dalam aturan syar’i akan mengantarkan seseorang pada jannah yang penuh naim (kenikmatan). Wanita dan kekuasaan yang tidak benarlah yang justru akan menjerumuskan seseorang yang memiliki kuasa publik jatuh dalam kebinasaan. Insiden para wanita dan politik di negeri ini rasanya sudah cukup memberi pelajaran untuk tidak bermain-main dengan kuasa wanita.

            Penulis adalah Alumni Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember

Mendamaikan Melayu

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Dimuat di Radar Surabaya 23 Desember 2012

Melayu bukanlah entitas terpecah meski komunitas Melayu tersebar dalam bagian besar di Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunai Darussalam dan Singapura. Komunitas diaspora Melayu juga terdapat di Srilanka, Madagaskar, Afrika Selatan, New Caledonia dan Suriname. Tapi Melayu tak pernah memerankan diri sebagai Java Major dan Java Minor sebagaimana Marco Polo membedakan antara Jawa dengan Sumatera. Ketika mengunjungi Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Cina, Marco Polo menyebut secara simplistis pulau Jawa sebagai Java Major meski Jawa tak sebesar Sumatera. Tapi, dilihat dari sudut pandang keindonesiaan modern, boleh jadi Jawa memang Major karena sisi peradaban Mataram Hindu sampai Mataram Islam yang memukau dan berdaya lebih daripada Sriwijaya sampai Aceh Islam di Sumatera.

Melayu memang pernah merasa terbelah ketika gaung anti nekolim menerpa Indonesia era demokrasi terpimpinnya Soekarno. Tiba-tiba saja, Melayu merasa berbeda searah garis tapal batas demografis. Ambisi Soekarno yang ingin menjadikan Maphilindo (Malaysia, Philipina, Indonesia) sebagai satu kesatuan merupakan khazanah politik literal yang sah-sah saja, karena Melayu memang pernah dipersatukan di era imperium Majapahit. Melayu tiba-tiba menjadi sebuah narasi besar politik romantis yang terasa galau kalau tidak dituruti.

Ide Melayu Raya terasa manis di lidah. Gagasan ini bukan monopoli Soekarno semata. Jauh sebelum Soekarno terkenal di pentas internasional, seorang sejarawan Melayu, Abdul Hadi Haji Hasan mengeluarkan ide tentang bersatunya Indonesia dan Malaysia. Sebuah ide yang berangkat dari konstruksi sejarah karena ditempa oleh referensi dialogis tentang historisitas Indonesia dan Malaysia sekaligus. Gagasan besar ini diteruskan oleh murid-muridnya diantaranya Harun Aminurrashid yang begitu menyadari bahwa keterpisahan Melayu kedalam Indonesia, Malaysia, Filipina sebenarnya disebabkan berlainannya para penjajah. Indonesia dijajah Belanda, Malaysia oleh Inggris dan Filipina oleh Spanyol.

Ras Eropalah sebenarnya yang membelah Melayu menjadi hampir tujuh negara Asia Tenggara meski Filipina dan Thailand tak sepenuhnya Melayu. Penjajah pulalah yang menjadikan Melayu tersebar sejak Srilanka sampai Cape Town. Tapi tidak semua diaspora Melayu disebabkan kolonialisme. Jiwa bahari Melayu progresiflah penyebab Melayu tersasar sampai Madagaskar dan Mauritius.

Kini, Melayu dapat didefinisikan secara ganda. Pertama, Melayu adalah ras khas Nusantara, sebagai sebuah bangsa yang berhimpun didalamnya ratusan etnis sejak Jawa, Madura, Dayak sampai etnis Melayu di Malaysia. Definisi pertama ini menunjukkan bahwa Melayu adalah ibu kebudayaan segala suku nusantara. Melayu merangkum semua etnis nusantara. Tapi, Melayu dapat pula diartikan sebatas etnis Melayu yang kini berdomisili di Riau, Malaysia, Sambas, Sabah, Jambi dan sekitarnya. Dari definisi kedua, Melayu adalah nama etnis lokal yang eksistensinya bisa disejajarkan dengan Jawa, Batak, Bugis dan etnis lain nusantara.

Definisi ganda ini pulalah yang menyebabkan Melayu pernah berebut panggung kekuasaan dengan Jawa. Frans Van Lith, seorang pastor Katolik era kolonial dengan sangat keras menolak penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Bagi kalangan misionaris, bahasa Jawa harus diutamakan karena dianggap lebih netral daripada bahasa Melayu yang terislamkan. Sebuah nalar yang sebenarnya minor, karena bahasa Jawa sendiri telah banyak menerima konsep-konsep Islam dalam ruh dan raganya, dan Kristen tak pernah benar-benar mengkristenkan Jawa.

Mungkin Van Lith tak tahu bahwa Pangeran Wijayakrama, raja Jayakarta ketika berdialog dengan orang Belanda menggunakan bahasa Melayu. Ketika menghardik Peter Van Broeke, Pangeran Wijayakrama berkata “ Orang Ollanda pitsiara keras, condati dialo mau berkeji juga, mau mufakat mufakat lagi” (Uka Tjandrasasmita:2009). Bahasa Melayupun juga digunakan dalam pelajaran agama Kristen di Fort Jakarta waktu Belanda menguasai Batavia.

Hikayat-hikayat Melayu tak pernah benar-benar memusuhi Jawa kecuali sebatas peneguhan superioritas dan flamboyanisme di tengah arus dominasi Jawa masa kemudian. Ketika dominasi Majapahit demikian ketatnya, maka lahir hikayat Hang Tuah yang menunjukkan flamboyanitas Hang Tuah sebagai pejuang Melayu yang unggul atas pembesar-pembesar Majapahit. Meski Hikayat Hang Tuah merupakan gabungan antara dongeng dan sejarah, tapi nilai intrinsiknya meneguhkan satu simbolitas keterkaitan antara Melayu yang berada di pinggir (Malaka) dengan Melayu yang berada di poros utama (Majapahit). Sifat anti Jawa yang muncul dalam Hikayat Hang Tuah tak lantas memutus romantika Melayu-Jawa. R.O Winstead, pakar sastra Melayu menyebut Hikayat Hang Tuah sebagai Malayo-Javanese Romance. Hikayat Hang Tuahpun tak pernah mendudukkan Jawa sebagai bukan Melayu.

Kini, tak ada perdebatan semacam itu. Tak ada lagi Jawa versus Melayu. Tak pernah pula muncul ke permukaan Melayu Major dan Melayu Minor. Dua entitas besar Melayu, Indonesia dan Malaysia tak pernah berebut menjadi Melayu paling asli. Malaysia bangga dengan klaim The Truly  Asia yang menunjukkan realitas Cina, India dan Melayu sebagai satu sinkronisasi. Indonesiapun bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika yang memandang Melayu sebagai narasi akbar nusantara sekaligus satu narasi diantara kumpulan ratusan narasi nusantara lainnya. Jika ada problem antar dua negara, jelas bukan karena soal Melayu tapi soal lain.

Penulis adalah Alumnus FISIP UNEJ. Berdomisili di Sumenep

Revitalisasi Kebudayaan Tionghoa di Sumenep

Oleh: Syarif Hidayat Santoso.

Dimuat di Radar Surabaya 25 Januari 2012

Di Sumenep, keberadaan etnis Tionghoa hadir sejak lama. Kontribusi mereka menyejarah sejak dulu. Keraton dan Masjid Jami’ Sumenep merupakan pembuktian eksistensi Tionghoa dalam pembangunan kota Sumenep. Tempat peribadatan Klenteng juga ada di Sumenep. Klenteng terletak di desa Pabian, berdampingan dengan Masjid dan Gereja Katolik. Di Sumeneppun terdapat sebuah desa bernama Dungkek yang merupakan kepanjangan dari Se Maddhung Singkek (penebang kayunya adalah Tionghoa).

Di Madura, China memiliki tempat tersendiri. Dalam peribahasa Madura (Parebhasan), China disebut secara spesial. Peribahasa tersebut berbunyi Mon adhagang ban Cena, Mon Ngaji ka Arab (kalau berdagang dengan China, kalau ngaji kepada orang Arab). China memiliki spesialisasi bisnis yang diakui oleh orang Madura. Dalam urusan bisnis, etnis Tionghoa lebih dihargai daripada etnis Arab yang sering dituding penyuka riba dan pelit. Di Sumenep, harmoni Tionghoa dengan komunitas Madura terjalin tanpa hambatan selama berabad-abad. Ketika kerusuhan antara Syarikat Islam dengan etnis Tionghoa terjadi di pulau Jawa, Tionghoa di Sumenep aman-aman saja, meski Sumenep saat itu merupakan basis Syarikat Islam (Kuntowijoyo:1988). Ketika meletus G 30 S PKI, etnis Tionghoa Sumenep dilindungi oleh kaum nahdliyyin meski terjadi ketegangan antara warga NU dengan segelintir Tionghoa pengikut Baperki.

Salah satu jejak Tionghoa di Sumenep adalah Pecinan di kota Sumenep. Keberadaannya kini terasa nisbi. Pecinan sulit terlacak karena terjepit toko-toko yang menjamur di kota Sumenep. Generasi muda sulit mengetahui bahwa di Sumenep ada kampung China. Beda dengan Kampung Arab yang hidup dengan aneka kebudayaannya, Pecinan tak terasa sekali nuansa kulturnya.

Pecinan hanyalah kampung nostalgia yang keberadaannya kini hanya berbentuk kumpulan toko. Kebudayaan Tionghoa hampir tak tampak. Namun, sejak tahun lalu, kebudayaan Tionghoa mulai ditampilkan. Atraksi Barongsai ditampilkan pada perayaan Hari Jadi Sumenep tahun 2011 lalu di depan Masjid Jami’ Sumenep. Untuk pertama kalinya, paguyuban Tionghoa Sumenep menunjukkan jatidiri partikularnya. Masyarakat Sumenep mendadak diingatkan bahwa diantara mereka ada komunitas Tionghoa yang memiliki peran kesejarahan penting. Ditampilkannya Barongsai di depan Masjid Jami, sontak mengingatkan masyarakat Sumenep kepada Lauw Piango, arsitek Tionghoa pembangun masjid Jami’ Sumenep.

Karenanya kebudayaan minoritas Tionghoa harus direvitalisasi agar potensi Tionghoa tak terlihat sebagai elemen the other (lain). Hadirnya kultur ini akan menambah keragaman Sumenep yang terdiri dari berbagai etnis. Sumenep merupakan wilayah yang kaya dengan sentuhan beragam etnis. Di Sumenep daratan hidup etnis non Madura seperti Jawa, Arab, Pakistan, keturunan Melayu di desa Marengan dan keturunan Bali di desa Pinggir Papas. Sedang di Sumenep Kepulauan seperti Kangean, Sapeken dan Masalembu hidup etnis Banjar, Mandar, Bugis dan Bajo. Inilah Bhinneka Tunggal Ika ala Sumenep.

Psikologi keragaman harus dibangun sejak dini. Revitalisasi etnis Tionghoa ini akan memberikan satu sensivitas emosi bahwa di Sumenep, etnis Tionghoa bukanlah pedagang semata. Revitalisasi kultur Tionghoa akan menjauhkan pola pikir kesenjangan ekonomi antara Madura dan Tionghoa. Jika kultur ini menyatu dalam kehidupan masyarakat Sumenep seperti kultur Arab, maka bukan saja sebuah sikap multikulturalisme yang tercapai namun sebuah transformasi nilai-nilai Tionghoa sebagai produk komplementer. Nilai-nilai Madura akan semakin maju jika nilai sino-konfusionisme terintegrasi dengan baik kedalam kultur Madura.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial

Ibu Di Era Pasca Industri

Oleh: Syarif Hidayat Santoso. Dimuat di Radar Surabaya 23 Desember 2011

Budaya pada masyarakat industri telah menjadi trend dan diimami banyak kalangan. Keberadaan industrialisasi pada masyarakat yang bergeser dari dominasi kehidupan agraris menuju kehidupan industri menjadi momok tersendiri pada peranan wanita sebagai ibu dan perawat rumah tangga. Tuntutan hidup yang tak lagi simetris serta makin menguatnya peranan modernitas banyak membawa peranan ibu sebagai ruang yang tak lagi monogamis. Kini, seorang ibu rumah tangga hanyalah satu pilihan komplementer yang melengkapi hidup seorang wanita.

Modernitas mempertanyakan keabsahan peri hidup seorang ibu. Maka, internalisasi nilai seorang ibu mulai dihadapkan pada kritikan dan oposisi kehidupan. Proses pewarisan nilai luhur tentang peranan seorang wanita di dalam rumah tangga digugat secara spontan, bukan hanya dalam ruang diskusi para akademisi namun juga pertaruhan kehidupan yang tak lagi seragam. Afiliasi budaya yang tak melulu mengekor pada kultur agraris mulai melahirkan legitimasi kognitif yang berubah. Peran seorang ibu bukan hanya dipertanyakan ketika para anak asuhan dalam sebuah rumah tangga tak lagi menjadi flamboyan dalam kesopanan dan loyalitas pada adab dan pekerti leluhur.

Peranan ibu di masyarakat pasca industri inilah yang menjadi pertaruhan apakah sebuah rumah tangga masih merupakan pondasi ideal dalam sebuah masyarakat. Dulu, ketika agrarisme masih menjadi kepentingan utama, ibu adalah martabat luhur yang tiada bandingnya. Namun, optimisme itu justru menjadi momok menakutkan ketika pola antropologi agraria tak lagi monoton. Kemiskinan, keterbelakangan dan hedonisme menjadikan para ibu tak lagi berperan sebagai pendidik dan pengasuh moralitas. Internalisasi bagi kaum remaja dan anak-anak dalam sebuah rumah tangga justru dilakukan oleh televisi, buku, komik dan internet serta pergaulan lintas sektoral.

Hari ini kita menyaksikan puluhan ribu ibu yang terpaksa meninggalkan rumahnya demi sesuap nasi, merantau ke kota-kota besar atau bekerja sebagai TKW. Belitan ekonomi membuat anak-anak diasuh dalam dekapan keluarga yang lain. Transformasi kasih sayang terpaksa dilakukan sang kakek, nenek atau bahkan tak ada sama sekali. Hedonisme juga melahirkan penyusupan nilai-nilai permisif. Industri yang hanya mengolah komoditas budaya sebatas kontributor materi tanpa sentuhan religiusitas.

Dalam kultur industri, budaya justru menjadi menjadi peluang untuk berpikir berbeda dengan kultur mapan. Budaya dalam masyarakat industri hanya melahirkan sikap pasrah (quietisme) pada keadaan. Ketika para ibu terpaksa mengamini untuk meninggalkan kehidupan luhurnya sebagai pengasuh rumah tangga, jelas ini bukan sikap pemberontakan semata namun juga sikap pasrah kepada perubahan. Peran ibu menjadi ephemeral atau sewaktu-waktu dan bukan peran abadi lagi. Kelesuan menghadapi hidup dan finansial sosial yang tambah membubung menjadikan para ibu bekerja pragmatis dan membiarkan institusi-institusi lain sejak sekolah sampai lingkungan sebagai pengasuh alternatif anak-anaknya.

Di era pasca industri, peran ibu harus menggabungkan antara harmoni agraris yang luhur dengan harmoni modernitas. Proses pewarisan nilai tetap harus dilakukan meski industrialisasi telah mengubah pola pikir masyarakat. Nilai-nilai luhur masyarakat agraris tetap harus dipertahankan. Pasalnya moralitaspun adalah pendahulu dari sebuah proses kapitalisasi kehidupan. Sejahat apapun kapitalisme, moralitas masih dijunjung tinggi. Adam Smith, bapak kapitalisme sebelum menulis The Wealth of Nation, diketahui menulis The Theory of Moral Sentiment terlebih dulu. Moral, bagaimanapun selalu dijunjung dalam sebuah masyarakat. Hatta, meski materialisme menjadi pola pikir utama.

Menjadi ibu di era pasca industri bukanlah kembali pada konservatifisme. Namun, itu adalah sebentuk heroisme untuk mempertahankan moralitas dan ide mendasar kehidupan. Ketika gaung kapitalisasi kehidupan merajai pentas industri negeri ini para ibu harus tampil dengan gagah. Hanya rumah tanggalah yang mampu dan capable membendung kapitalisasi industri. Kehidupan masa kini memang bukan lagi berdiri dalam pola agraris, tapi moralitas agraris yang menghargai alam sekitar, rumah tangga dan Tuhan sebagai satu kesatuan kosmik dapat diterapkan dalam kondisi kultur mana saja.

Harkat dan martabat ibu adalah harkat dan martabat kehidupan. Luas mencakup sejak masyarakat sampai bangsa dan negara. Eksistensinya bak mata air di musim kemarau yang dibutuhkan dalam kehidupan. Industri yang telah menjajah martabat moralitas, selayaknya harus dihadapi dengan kearifan menempatkan diri selaras nilai luhur kita dahulu.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial.

Bahasa Islam dan Bahasa Politik Islam

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

dimuat di Horizon Radar Surabaya 22 Mei 2010

Bahasa selalu berhaluan multi dimensi, tak terkecuali bahasa agama. Islam sebagai formulasi wahyu dan derivasi bahasanya yang beragam dalam politik, ekonomi, sosial, hukum dan pemikiran. Bahasa politik Islam menempati konsekuensi logis hadir dan berkembangnya institusi politik. Setiap pranata politik pasti membutuhkan bahasa pembenar dan ideologis agama bersangkutan.

Negara-negara Timur Tengah masa kini adalah contoh ketidakkonsistenan bahasa Islam ketika diterjemahkan secara lebih nyata dalam politik. Negara-negara Arab jamak diketahui sebagai negara dengan tipe politik yang semrawut, diktator dan apriori terhadap demokrasi. Meskipun, sebagian negara Arab didukung barat, tapi belum tentu pemikiran subtil dari demokrasi diadopsi. Bahasa politik sebagian negara Arab dan juga kaum oposan fundamentalismenya justru mengambil posisi resisten terhadap keragaman.

Ironisnya, diktatorianisme dan zealotisme terhadap pemikiran asing sering didasarkan pada kitab suci. Fundamentalis Arab begitu saja mendudukkan Al Quran sebagai undang-undang dasar negara. Padahal, sebagai kitab universal, Quran membutuhkan banyak penafsiran sebagai implementasi operasionalnya di tengah masyarakat. Di Arab Saudi kitab suci tidak dibumikan dalam bahasa konsep yang lugas, luwes dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Quran didudukkan tanpa nalar fikih sistematis. Akibatnya, oposan dan kritikus gampang dituduh sebagai pembangkang quran. Rezim Saudipun tak perduli apakah pangkalan militer Amerika di Dahran itu sesuai dengan spirit Quran atau tidak.

Di Indonesia, bahasa agama terlebih dulu dibumikan dan dikonsepsi sesuai alam pikir kaum pribumi. Bahasa Arab diserap terlebih dulu dalam konsep-konsep kunci bahasa lokal. Musyawarah, daulat, rakyat, sultan, majelis, adil makmur, abdi, khalifah, umat dan sebagainya. Kesemuanya memiliki kesesuaian dengan quran namun bercitarasa lokal. Di Arab, bahasa Arab justru kehilangan konsep aslinya. Padahal, sebagai penutur asli, bangsa Arab lebih berhak memahami konsep kunci al Quran yang paling orisinil.

Kedaulatan dalam perspektif Islam nusantara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dimana rakyat adalah entitas yang menerima pembebanan ini. Rakyatpun memiliki konsep pertanggungjawaban massif. Konsep MPR sebagai wakil rakyat dan eksekutif sebagai pelaksana amanah rakyat justru bersesuaian dengan hadits nabi bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Semua orang pada gilirannya adalah rakyat hanya berbeda status operasionalisasinya. Maka Sukarnopun tak bisa dikritik jika menyebut dirinya penyambung lidah rakyat. Kesalahan Soekarno ada pada diktatorianismenya dan bukan pada konsep bahasa Islam tentang rakyat.

Di nusantara, khalifah, sultan dan panembahan bisa dipakai. Ada Panembahan Senopati, Sultan Agung, juga Pangeran Diponegoro yang bergelar sayyidin panatagama khalifatullah ing tanah Jawi. Kepemimpinan Islam nusantara tak pernah eksklusif memegang tipe kepemimpinan tertentu. Bisa Sultan, khalifah, panembahan atau presiden di era modern. Rakyat Indonesia tak perlu repot dengan khilafah. Kalau ada upaya penegakan khilafah itu adalah pemikiran transnasional yang diimpor. Tak ada pribumi yang mengkritik presiden sebagai institusi yang membangkang terhadap hukum Islam. Di masa orde lama, Sukarno dijuluki sebagai waliyyul amrii aldharuri bis syaukah justru untuk melawan konsep imamah DI TII Kartosuwiryo.

Bayangkan dengan rezim Arab masa kini. Zaman berganti, tapi monarki absolut ala kaum badui tetap berdiri tegak tanpa kritisisme seperti Arab Saudi, Yordania dan Kuwait. Ada lagi republik diktator yang presidennya berganti puluhan tahun sekali seperti Mesir dan Tunisia. Ada pula yang anti barat tapi sekaligus mempraktekkan tiranisme seperti Syiria dan Somalia. Lebih lucu, ada yang perundangannya sangat Islami, namun hidup dalam kemiskinan, korupsi dan ancaman perpecahan seperti Sudan.

Di Indonesia demokrasi dikembangkan tahap per tahap. Indonesia pernah mengalami dua kali masa diktatorianisme, Sukarno dan Suharto. Hari ini, hidup Indonesia juga banyak tak sesuai dengan konsep-konsep kunci bahasa agama yang pernah diterjemahkan. Namun, bukan berarti Indonesia tak berkehendak bangkit. Pembaharuan demokrasi tetap berjalan sedikit demi sedikit. Dalam rentang waktu 13 tahun reformasi, ada empat presiden dan empat wakil presiden di Indonesia. Para presiden itu tak satupun yang menyebut dirinya zillullah (bayang-bayang Tuhan) di muka bumi seperti diktator Arab.

Di Indonesiapun setiap orang bisa menjadi imam bagi rakyatnya. Ada imam formal seperti SBY, tapi ada imam informal seperti Said Agil Siradj, Megawati, Din Syamsudin dan sebagainya. Rakyat bebas bermakmum kepada orang yang dicocokinya. Beda dengan Iran yang doktrin imamah dan budaya marja’nya mewajibkan bermakmum pada satu imam yaitu Ayatullah Ali Khomeini. Rakyat Indonesia terkadang memiliki imam lebih dari satu akibat pluralitas berpolitik. Ada Nahdliyyin sekaligus kader PDI-P, ada warga Muhammadiyah sekaligus anggota Demokrat, ada Kristen sekaligus PKB.

Walhasil, meski jauh dari pusat kelahiran Islam, belum tentu Islamisme Indonesia tak kreatif. Justru karena geopolitiknya yang jauh dari Mekkah Madinah, kita lebih banyak melakukan integrasi bahasa agama dalam ruang dialogis yang tak monoton. Hari ini, bahasa politik Islam yang pernah dibumikan wali songo menjadi bukti bahwa agama memang akan berenergi kalau diterjemahkan dalam teks sekunder dan bukan teks primer semata.

Penulis adalah pemerhati Masalah Sosial

Qadhafi dan Asumsi yang Terbantahkan

Oleh: Syarif Hidayat Santoso. Dimuat di Rubrik Horizon Radar Surabaya 24 April 2011

Qadhafi adalah legenda hidup yang penuh kontroversi. Uniknya, segala kontroversi itu justru melahirkan antitesis terhadap sejumlah asumsi politik internasional di Timur Tengah. Ada sejumlah kontroversi Qadhafi yang menarik untuk dicermati. Pertama, gaya kepemimpinan Qadhafi menunjukkan bahwa diktatorianisme tak selalu identik dengan kepentingan Amerika dan barat. Selama ini beredar asumsi bahwa diktatorianisme Timur Tengah selalu identik dengan rezim barat yang berperan di balik layar. Arab Saudi, negara-negara Teluk, Aljazair, Mesir, Tunisia dan Yaman adalah representasi negara-negara diktator tak demokratis yang didukung Amerika dan barat. Pada negara-negara ini, Amerika dituding inkonsisten dan double standard karena mendukung rezim yang diktator dan tak demokratis.

Fenomena Qadhafi justru menunjukkan sebaliknya. Diktatorianisme justru tak selalu linier dengan Amerika dan barat. Qadhafi menjungkirbalikkan asumsi bahwa Amerika selalu berada dibelakang diktatorianisme dan demokrasi semu Timur Tengah. Diktatorianisme Qadhafi murni berdiri diatas kemauannya sendiri dan bukan karena desakan Amerika. Tahun 1998, Amerika menjuluki Libya sebagai negara teroris bersama dengan Iran, Irak, Sudan, Syiria dan Afghanistan. Gaya anti Amerika namun menjalankan diktatorianisme ini mirip dengan rezim Saddam Husein di Irak, rezim Farah Aidid di Somalia dan rezim Omar Al Bashir di Sudan yang juga anti Amerika namun sekaligus diktator

Asumsi kedua yang terbantahkan dari Qadhafi adalah bahwa tak selamanya identitas anti Amerika itu lantas islamis dan mempraktekkan Islamisme ala kaum fundamentalis. Qadhafi adalah figur yang sepenuhnya murni anti fundamentalisme. Kegemarannya yang patut dicatat adalah Qadhafi hobi membunuh aktivis Ikhwanul Muslimin di Libya. Kecenderungannya menolak Islamisme terlihat dari dijadikannya green book (kitab al akhdar) sebagai satu-satunya rujukan bernegara. Petikan pemikiran dalam Green Bookpun sebenarnya juga menunjukkan inkonsistensi Qadhafi. Green Book secara nyata menunjukkan sikap sosialisme Qadhafi. Namun, lagi-lagi aneh. Sampai hari ini Libya tak benar-benar menunjukkan sebuah negara sosialis yang makmur. Kemiskinan jamak diketemukan di negeri kaya minyak itu.

Qadhafi justru rajin membantu gerakan-gerakan separatis di banyak negara. Sebagian ada yang berhaluan nasionalis-Islam seperti MNLF di Filipina, namun Qadhafi juga membantu separatisme sekuler seperti GAM di Indonesia, gerakan separatisme Sierra Leone dan Uganda. Qadhafi juga menjadi penyokong penuh diktator Afrika sejak Hissane Habre di Chad sampai Charles Taylor di Liberia. Dulu, Qadhafi juga pendukung berat diktator Uganda, Idi Amin. Sama seperti Qadhafi, Idi Aminpun adalah figur kontroversial. Di satu sisi sangat benci kepada Israel dan Inggris, di sisi lain hobi membunuh rakyat yang tak sejalan dengan dirinya.

Qadhafi juga ahli dalam merancang upaya pembunuhan terhadap penguasa-penguasa politik Timur Tengah yang dianggap tak sepaham dengan dirinya. Raja Husein Yordania adalah salah satu penguasa yang pernah diincarnya untuk dibunuh. Tapi, lagi-lagi pada kasus ini Qadhafi memiliki keunikan, bahkan keunikan terunik yang pernah ada dalam sejarah politik Timur Tengah modern.

Qadhafi sebenarnya memiliki kontroversi yang sama dengan raja Husein yaitu dituding keturunan Yahudi namun berpura-pura sebagai keturunan Nabi Muhammad. Tak banyak terpublikasikan bahwa Qadhafi dicurigai sebagai keturunan Bani Israel melalui kabilahnya, suku Qaddafah. Suku yang melahirkan Qadhafi ini dituding oleh Umar Al Mahisyi sebagai klan Yahudi pada abad-abad lalu (Muhammad Isa Dawud:1996). Umar Al Mahisyi bahkan membeberkan bahwa nama asli Muammar Qadhafi adalah Muammar Abu Minyar, sesuai garis genetis suku Qaddafah yang bermula pada klan Yahudi Afrika, Minyar.

Namun Qadhafi pintar berapologi. Dalam Thus Spoke Colonel Muammar Qadhafi (1974) yang merupakan kumpulan wawancaranya dengan berbagai media, Qadhafi menyebut dirinya sebagai keturunan nabi dan anggota dari suku yang saleh, taat dan murabitun (Lisa Anderson:1987). Sikap untuk berpura-pura saleh ini sebenarnya merupakan strategi politik Qadhafi untuk mereduksi peranan politik tarekat Sanusiyah yang kuat di Libya.

Raja Husein yang ingin dibunuh Qadhafi juga bertipe sama. Sejak lama Husein dituding sebagai Yahudi yang hanya mengaku-ngaku keturunan nabi Muhammad demi pembenaran wangsa Hasyimiahnya. Sampai hari ini, tak banyak orang yang yakin atas klaim bahwa raja Husein memiliki garis geneologis dengan Bani Hasyim, kerabat Nabi Muhammad. Seorang pelarian politik Yordania, Syamir Abu Syam’ah bahkan mengutarakan sederet bukti bahwa Raja Husein adalah Yahudi dalam bentuknya yang paling asli.

Sederat fakta diatas menyentakkan kita akan keunikan Qadhafi yang tak pernah habis. Tak ada parameter yang cocok untuk dia, apakah itu demokrasi, fundamentalisme Islam maupun sosialisme Arab. Kesimpulan akhirnya, Libya memang betul-betul membutuhkan revolusi untuk perubahan lebih baik.

Penulis adalah Pemerhati Dunia Islam. Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ

Konflik dan Citra PKS

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Radar Surabaya 9 April 2011
Konflik di tubuh PKS akhir-akhir ini menarik karena menimpa partai yang dikenal solid, berkarakter militan dan bersih. Memang sejak setahun terakhir PKS mulai dirundung sesuatu yang tak mengenakkan, terutama ketika salah satu kadernya, Misbakhun menjadi terpidana letter of credit fiktif bank Century senilai USD 22,5 juta dollar.
Kini, konflik antara Yusuf Supendi dengan sejumlah petinggi PKS juga menjadi kabar tak sedap bukan saja bagi konstituen PKS namun masyarakat kebanyakan yang cenderung menganggap PKS solid. Apalagi kasus-kasus yang dibeberkan Yusuf Supendi termasuk kasus sensitif yang dapat menghanguskan citra PKS sebagai partai bersih yang menjadi trademark PKS sejak dulu. Dugaan korupsi para petinggi PKS terhadap dana Pilkada DKI sedikit banyak mengusik ketenangan konstituen.
Namun, pernyataan menggelitik dari peristiwa ini adalah bahwa PKS ternyata bisa juga dilanda konflik antar sesama elitnya. Sebuah sindiran logis, karena selama ini PKS dikesankan sebagai partai yang rapi, terdiri dari kader-kader terdidik dan dibawah kendali para murobbi. Namun, pada umumnya konflik tak selalu buruk. Konflik justru bisa melahirkan harmoni setelah sebelumnya dilanda disharmoni. Konflikpun bisa menjadi sebuah kebaikan apabila bersifat fungsional, artinya dapat mendeteksi unsur-unsur kelemahan partai, kemudian memperbaikinya.
Dalam psikologi politik, tabrakan antara Yusuf Supendi terhadap tiga elit terkemuka PKS yaitu Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaaq, sekjen PKS Anis Matta dan ketua Majelis Syura PKS, Hilmi Aminuddin merupakan kemunculan dari sebuah privat persona. Dalam psikologi politik dikenal istilah “I” dan “Me”. I merupakan personifikasi diri sebagai watak pribadi (privat persona), sedang Me merupakan penampakan “watak bersama” di depan publik (publik persona). PKS pada dasarnya terdiri dari sekumpulan tokoh dengan kepribadian privat personanya masing-masing. Boleh jadi, sebagaimana manusia pada umumnya, kepribadian sejumlah tokoh dan kader PKS bermasalah. Namun, kepribadian privat ini tenggelam dalam pencitraan publik persona.
Dalam publik persona, kepribadian yang bermacam-macam itu hatta sampai yang paling bermasalah tertutupi oleh perwatakan kolektif sebagai hasil pencitraan PKS di depan publik. Akibatnya, muncul asumsi bahwa kader-kader PKS adalah kader yang sepenuhnya bersih, militan dan terkoordinasi baik, padahal tak selamanya demikian. Kasus Misbakhun adalah pendahuluan dari terdeteksinya privat persona yang menyimpang dari publik persona yang dibangun PKS. Apalagi sebagai sebuah organisasi politik, dalam tubuh PKS pasti terdapat ketidaksepahaman. Ketidaksepahaman tersebut bisa jadi bersifat laten (tertutup), namun bisa pula mengemuka menjadi konflik manifest (terbuka) seperti yang terjadi antara Yusuf Supendi dengan elit PKS. Pernyataan para elit PKS bahwa Yusuf Supendi adalah pribadi yang bermasalah dan adanya intervensi eksternal terhadap PKS melalui Yusuf Supendi sudah cukup menjadi bukti bahwa dalam tubuh PKS terdapat privat persona yang tak selaras dengan publik persona yang dihadirkan PKS di depan publik.
Terlepas dari siapa yang benar, para elit PKS ataukah Yusuf Supendi, hal ini cukup memberi pelajaran kepada publik untuk menggunakan logika rasional dalam mencermati politik. Publik harus sadar bahwa PKS-pun sebenarnya bergerak dengan logika citra dan tanda. Dalam logika citra, fungsi utama dari sebuah parpol penyalur aspirasi konstituen kadang dimandulkan. Konflik di tubuh PKS terlepas dari segala motif dan penyebabnya harus menyadarkan publik untuk berpikir komprehensif dan tidak membeli produk dari perspektif tema dan citra semata tapi mau mendalami setiap fenomena laten yang tak tampak.
Pencitraan pada dasarnya bagus untuk mendulang suara. Pencitraan baik terhadap kelompok dan figur politik tertentu dibutuhkan ketika privat persona kelompok atau figur itu memang baik secara natural. Tapi, pencitraan tetap harus berdasarkan fungsi analisa agar mampu mengerem imagologi politik yang tak sehat. Sudah pasti dari ratusan ribu kader PKS pasti terdapat figur-figur yang bermasalah sejak dari awalnya alias natural.
Apalagi sejak pemilu 2009, PKS sudah mulai beragam sebagai akibat rancangan politik masa depannya yang membutuhkan keterbukaan. Kemajemukan ini bukan tidak mungkin akan melahirkan budaya dan cara berpikir baru dari kader dan massa PKS seperti kritisisme terhadap murobbi atau elit partai. Daripada menyimpulkan dengan logika citra, lebih baik berpikir dengan logika fungsional, yaitu melihat sebuah parpol dari berjalannya fungsi parpol tersebut sebagai penyalur aspirasi rakyat. Konflik di tubuh PKS memberi pelajaran bahwa PKS juga manusia.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial

Bomholic Republik Indonesia

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Dimuat di Rubrik Horizon Radar Surabaya Minggu 27 Maret 2011

Negeri ini telah mengalami bomholic, suatu kondisi dimana bom menjadi hobi kegilaan tersendiri. Bom menjual dirinya dengan ketakutan dan kematian masyarakat. Bom juga melahirkan sikap antitesis terhadap simbol-simbol ideologi. Simbol-simbol itu adalah liberalisme, Pancasila, kontra terorisme dan Yahudi Indonesia. Anti Liberalisme terlihat dari bom buku yang ditujukan pada Ulil Abshar Abdalla, sikap anti Pancasila terlihat dari bom buku yang dialamatkan kepada Yapto ketua Pemuda Pancasila, anti kontra terorisme melalui bom buku pada Gories Mere mantan komandan densus 88 anti teror yang kini menjadi kepala Badan Narkotika Nasional serta sikap anti Yahudi terlihat dari bom buku yang diarahkan kepada Ahmad Dhani.

Walhasil bom telah melahirkan persepsi tersendiri. Persepsi ini berupa penanda bahwa di Indonesia telah berkembang ideologi dan identitas yang dianggap tak selaras dengan para pengirim bom. Tulisan-tulisan Arab dan slogan Allahu Akbar yang tertera pada bom mengisyaratkan bahwa sasaran yang dituju adalah ideologi dan identitas yang paradoks dengan keislaman para pengirim bom.

Bom telah bekerja dalam mekanisme tak sadar yang tak lagi kasuistik. Ulil Abshar Abdalla yang gaung liberalismenya tak segarang dulu dan sebenarnya tidak mendapatkan tempat lagi baik di NU masih dikaitkan dengan liberalisme. Ahmad Dhanipun tiba-tiba saja dilekatkan dengan simbol Yahudi, meskipun dia muslim sejak lahir bahkan seorang muslim sufi pengikut Tarekat Naqshabandi Al Haqqani asuhan Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Simbol Islam dalam lambang Dewa dan darwis berputar dalam setiap konser Dewa rupanya dikalahkan fakta bahwa kakek Ahmad Dhani adalah seorang Jerman yang terindikasi berdarah Yahudi.

Hal serupa terjadi pada Gories Mere yang tak aktif lagi di Densus 88 Anti Teror. Adapun Pemuda Pancasila yang diketuai Yapto, sebenarnya lebih mendekati simbol orde baru yang sewenang-wenang dalam menafsirkan Pancasila daripada simbol Pancasilaisme sendiri meskipun ada indikasi kalau Yapto juga keturunan yahudi melalui ibunya, Dolly Zegerius. Inilah keanehan dari fenomena bom-bom buku yang dialamatkan pada mereka. Bom-bom tersebut justru diarahkan kepada orang-orang yang sebenarnya tak benar-benar mewakili simbol-simbol yang dipertautkan.

Dalam kajian psikologi sosial, pola pergerakan bom semacam ini lebih menyerupai sebuah dimensi apperception yaitu penciptaan tingkat kesadaran yang disengaja untuk terjadi karena sebelumnya dimunculkan sebuah perhatian selektif. Bom juga menjelma menjadi apa yang disebut Freud sebagai parapraksis atau keseleo ala Freud (Freudian Slip), dimana terjadi ketidaktepatan antara pengirim dengan obyek yang dituju, karena sebenarnya justru lebih berefek pada kejiwaan masyarakat daripada penghancuran ideologi.

Kekerasan telah menjadi teritorial para teroris dan uniknya kekerasan ini dibesarkan teknologi tontonan melalui televisi, media cetak dan online. Efek psikologis yang besar melalui pencitraan melalui televisi melahirkan pergolakan tidak sadar dalam benak masyarakat. Kejiwaan masyarakat yang mudah cemas dan gampang menyimpulkan setiap bungkusan aneh adalah bom merupakan penanda superlatif yang terjadi spontan akibat kondisi ketakutan berlebihan. Masyarakat menjadi booming bom.

Kini, boleh jadi ketakutan melanda banyak orang minimal mereka yang memiliki kaitan dengan empat simbol diatas. Bukan cuma Ulil yang khawatir tapi juga semua petinggi Islam Liberal dan aktivis poros Utan Kayu. Boleh jadi, Cornelia Agatha yang keturunan Yahudipun juga waswas akan eksistensi hidupnya, sama seperti Ahmad Dhani. Bahkan keluarga Gories Mere dan anak istri anggota Densus 88 juga hari ini pasti sedang dilanda kecemasan dan karenanya harus waspada setiap saat akan setiap kirman bingkisan apapun.

Kita telah benar-benar gila bom. Fenomena bomholic bukan saja sejenis horosophy yang menjiwai para teroris, tapi juga diri kita. Di tengah ketidakstabilan kondisi bangsa kecemasan semacam ini sebenarnya tidaklah perlu. Hikmah mendalam yang perlu kita sadari dari aneka peristiwa ini adalah kita harus memperkuat simpul-simpul kejiwaan anti terorisme dan menjaga selalu pilar Pancasila dan keragaman

Gerakan Moral Dalam Masyarakat yang Bisu

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Radar Surabaya Februari 2011
Paling tidak sejak awal januari 2011 telah berdiri lima gerakan moral yaitu Gerakan Tokoh Lintas Agama Anti Kebohongan (1 Januari 2011), Gerakan Tritura (25 januari 2011), Gerakan Aktivis Anti Mafia Hukum (26 Januari 2011), Gerakan Kebangsaan Menjamin Kebhinekaan dan Kebebasan Beragama ( 9 Februari 2011) serta Dewan Penyelamat Negara (11 Februari 2011). Tujuannya sama, yaitu mengungkap rekam jejak kinerja pemerintah yang tidak efektif mulai gagalnya pemberantasan kemiskinan, rumitnya pemberantasan mafia hukum dan pajak dan ketidaktegasan kasus intoleransi beragama.
Gerakan moral memang layak hadir di tengah negeri yang semakin semrawut. Namun, efektifkah gerakan tersebut di tengah bisunya masyarakat dalam mengapresiasi setiap inisiatif perubahan. Apalagi ditambah penyakit deprivasifisme yang melanda banyak elit. Apa itu deprivasifisme? Dalam psikologi, penyakit deprivasif adalah ketika seseorang merasa takut ketika tidak berada dalam langgam kehidupan bersama yang dianggap strategis. Contoh deprivasifisme terdapat pada 8000 pejabat yang gajinya naik seiring kenaikan gaji presiden. Terlihat, tak ada satupun dari ribuan pejabat yang protes akan ide kenaikan gaji di tengah merosotnya ekonomi masyarakat kebanyakan. Para pejabat diam saja dan terkesan setuju akan ide itu. Artinya, telah terjadi deprivasifisme kolektif yang mewabah di benak para pejabat.
Lebih parah lagi, masyarakat tenang-tenang saja meski mayoritas masyarakat tidak sepakat dengan fenomena tidak selaras dari kinerja pemerintah. Masyarakat terkesan bisu dalam menyikapi setiap tendensi diskriminatif dalam alur kehidupan berbangsa. Masyarakat merasa bahwa apa yang menimpa adalah fenomena sepatutnya dan tak perlu melahirkan protes secara massif. Diamnya masyarakat pada dasarnya sejenis dengan preskriptivisme, yaitu kondisi ketika persepsi dan nilai-nilai elit diamini secara mekanis dalam pola pikir masyarakat kita. Preskriptivisme lebih berbahaya dari deprivasifisme yang sekedar cuek. Preskriptivisme pada dasarnya sebentuk penyerahan total akan takdir yang determininis.
Padahal masyarakat ada justru untuk lahirnya sebuah keadilan bersama. Filosof Yunani kuno, Epicurus menyebutkan bahwa hadirnya masyarakat adalah jalan bagi terciptanya kebutuhan akan kebahagiaan. Artinya, mekanisme kerja dalam kehidupan masyarakat adalah mekanisme kerja untuk tidak tunduk pada persepsi elit yang dibakukan atau koersi (paksaan) pemerintah. Masyarakat ada karena sebuah kontrak kolektif yang mengikat satu sama lain untuk hidup sejajar dalam kegembiraan. Namun, kita tahu, kondisi psikologis masyarakat kita adem ayem saja meski banyak ketimpangan yang dilakukan individu-individu tak bertanggung jawab.
Mentalitas anak bangsa negeri ini sebenarnya telah berada pada apa yang disebut sejarahwan Marc Fero sebagai titik kebisuan sejarah. Lihat saja, gerakan-gerakan moral itu hanya menjadi tontonan iseng dalam sinema kehidupan yang ditonton bersama oleh rakyat. Meski tokoh-tokoh pencetus gerakan moral adalah figur-figur dengan pengikut besar seperti Din Syamsuddin, Salahuddin Wahid dan Syafii Maarif, tetap saja gerakan moral itu mandul di masyarakat. Protes para tokoh ibarat aliran air dari hulu yang tersumbat di tengah dan tak mengarus sampai ke hilir.
Para tokoh gerakan moral dan pengikutnya hanyalah minoritas kecil negeri ini. Mereka tak sanggup menggerakkan massa untuk mengikuti jejak mereka melakukan perubahan. Kalau begitu, para tokoh gerakan moral harus melakukan transgenerasi (pewarisan) mental untuk mengubah keterbelakangan negeri ini. Mengharapkan masyarakat luas mengapresiasi gerakan mereka sama saja dengan menanti hujan di musim kemarau panjang. Tak pasti dan lama. Mengarahkan protes kepada pemerintah memang tak salah, tapi tak efektif jika rakyat sebagai korban justru merasa tak ada masalah. Para tokoh harus mengubah habitat mental masyarakat terlebih dulu, sebelum mengajak mereka dalam reformasi moral yang besar. Dalam psikologi, habitus incorporation, tempat dimana transformasi nilai-nilai disandarkan harus dibersihkan dulu dari penyakit kebisuan yang deprivasif dan preskriptif. Jika mental telah berubah, maka sebuah trasnformasi massal yang digerakkan individu-individu yang tercerahkan mentalnya akan terjadi di negeri ini. Memang takkan terjadi dalam waktu singkat, namun hal itu akan terjadi dalam arus besar paling fundamen di negeri ini.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial.