Monthly Archives: Februari 2011

Butuh Modernisasi dan Konstituen Baru

Dimuat di Harian Bhirawa 9 Februari 2011

Merespons Hasil muswil PPP Jawa Timur

Oleh: Syarif Hidayat Santoso.

Banyak partai Islam mentahbiskan diri sebagai partai terbuka yang menerima caleg dan kader non muslim untuk berperan lebih dalam. Namun PPP lebih memilih untuk tetap menjadi partai Islam konservatif meski inklusifisme dibuka lebar. PPP enggan untuk mengikuti langkah PAN, PKB dan PKS yang memilih tidak eksklusif. PPP juga dihadapkan pada kenyataan eks dari unsur-unsurnya yang tak lagi menyalurkan aspirasinya pada parpol berlambang Ka’bah itu. Setelah ditinggalkan NU, dua unsur PPP lainnya yaitu SI dan Parmusi juga memilih untuk tak berafiliasi dengan partai manapun.

Ketika dideklarasikan Januari 1973, PPP merupakan partai yang merangkum hampir segenap segmen pemilih muslim. Elemen modernis dan perkotaan terwakili dalam Parmusi dan Syarikat Islam, sementara elemen tradisional direpresentasikan NU dan Perti. Walhasil, pada pemilu 1977 dan 1982, dukungan PPP relatif merata di kantong-kantong Islam. Di pedesaan, PPP disuplai NU, sementara di perkotaan PPP disupport unsur Islam modernis. Meski tidak dominan, PPP tetap partai yang disegani karena massanya yang besar di basis-basis Islam sejak Aceh, Sumbar, Jakarta, Jatim sampai Kalsel.

Namun, nostalgia PPP nampaknya berakhir ketika era reformasi digaungkan. Kaum Nahdliyyin banyak mendukung PKB. Sementara elemen perkotaan mengalihkan suaranya kepada PAN dan PKS. Pemilu 2009 lalu, menunjukkan bahwa dinamika PPP malah semakin mengenaskan. Massa Islam mengambangpun lebih suka pada partai nasionalis terutama Demokrat. Perolehan kursi PPP menurun pada batas paling rendah sejak Pemilu 1977.

Pada akhir orde baru, dukungan PPP bertumpu kepada pemilih konservatif, pemilih pemula serta pemilih yang bersimpati kepada PPP. Pemilu 1997 menunjukkan tingkat graduasi luar biasa dengan berbondong-bondongnya massa muda pada setiap kampanye PPP, meskipun tidak jelas apakah kaum muda itu merupakan murni supporter PPP ataukah efek euforia Mega Bintang. Tendensi ini pupus habis ketika tiga pemilu berturut-turut kemudian, PPP hampir kering pendukung muda. Dukungan PPP hanya datang dari massa konservatif.

Modernisasi PPP

Modernisasi PPP mutlak diperlukan jika PPP tidak ingin ketinggalan kereta. Terdapat tiga hal yang dapat dilakukan PPP. Pertama, kaderisasi PPP tidak sepatutnya lagi menggunakan label unsur organisasi ala pemilu 1977. Sampai kini, PPP masih bangga dengan klaim sebagai partai umat Islam karena didirikan berbagai elemen Islam.

Pemilahan berdasar unsur harus diakhiri, bukan saja karena rentan konflik tapi juga karena pencitraan defensif seperti ini tidak akan berguna ketika generasi muda modern tidak lagi melihat afiliasi primordial sebagai titik tumpu politiknya. Hal ini juga akan mengerem efek kekecewaan unsur-unsur dalam PPP yang sering mengancam akan mendirikan partai sendiri. Kader PPP masa depan harus dibesarkan oleh PPP sendiri dan bukannya oleh NU, SI, MI ataupun Perti. Banyak tokoh elit PPP sebenarnya dibesarkan oleh PPP dan bukan lagi oleh Ormas Islam.

Kedua, PPP harus memperkuat basis kulturnya agar tidak terpaku kepada konstituen pesantren semata. Kepemimpinan kharismatik harus ditinggalkan dengan memperbanyak kader muda yang memiliki kompetensi tinggi. Contohnya, PPP dapat mendayagunakan eksponen pesantren yang telah melebur kedalam unit-unit pergerakan modern. Bukankah banyak alumni pesantren yang berjuang melalui LSM, organisasi buruh serta jaringan studi ilmiah, serta wartawan. PPP harus mau menggaet kelompok yang di mata PPP kelihatannya nyeleneh ini. Basis kultur non santri dapat pula menyebabkan mengalirnya dukungan PPP dari kantong-kantong kultur abangan

Ketiga, PPP perlu membesarkan background kampus. Kader intelektual absolut diperlukan karena secara lihai dapat menjadi lokomotif dukungan domino. PPP telah berinovasi dengan mendirikan Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GMII) sebagai basis dasar dukungan kampus kedepan. Dukungan Kampus akan mempermudah kaderisasi intelektual di masa depan, apalagi seiring identifikasi dan labeling dari partai Islam lain yang sering mengklaim sebagai partai anak muda Islam kampus.

Intelektual muda kritis merupakan ikon bagi generasi muda modern. Dukungan kampuspun juga merupakan syarat kalau PPP tetap ingin bersikap konservatif tanpa inklusivisme. Ini mutlak diperlukan mengingat PPP sekarang tidaklah seperti PPP tahun 1977 yang kaya dengan publik figur. Saat itu PPP surplus publik figur mulai dari mantan tokoh Masyumi, Kyai sepuh NU sampai Rhoma Irama dan Nurcholis Majid. Meski, akhir-akhir ini terdapat fenomena kyai NU kembali ke PPP seperti pada deklarasi Lirboyo. Namun, Jika kharismatisme harus ditanggalkan, maka dunia intelektuallah yang paling kompeten untuk menggantikannya.

Dengan cara itu, PPP mungkin bisa mengklaim sebagai partai plural-modern yang tidak terpaku kepada afiliasi tradisional semata. PPP bisa menjadi pesona bagi generasi muda Islam dalam format modern dan fleksibel serta akseptabilitasnya di semua lini, perkotaan dan pedesaan. *

Penulis adalah Alumni Hubungan Internasional FISIP UNEJ

Nominalisme dan Histrionisme Di Sekitar Kita

Dimuat di Radar Surabaya 18 Januari 2011
Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Dua Bulan ini ada sejumlah berita menghebohkan di Madura. Berturut-turut Madura digemparkan beredarnya sejumlah video mesum, sejak video mesum Pakong Bergetar Pamekasan, video Keraton Bergoyang dan Kontrakan Bergoyang di Sumenep. Dua video pertama diperankan oleh guru wanita dengan teman kencannya sementara video terakhir diperankan siswi SMA dengan kekasihnya. Ironis karena pemeran video-video mesum tersebut adalah kalangan dunia pendidikan yang seharusnya menjadi teladan moralitas baik di masyarakat.

Gejala asusila masa kini memang semakin menarik untuk diamati. Pasalnya, penyimpangan seksual kontemporer telah melewati batas demarkasinya masing-masing. Dulu, pelanggaran susila hanya menimpa mereka yang terjun bebas di area itu plus para konsumen penikmatnya. Kini, batas-batas demarkasi itu telah rubuh. Perbuatan asusila telah merambah berbagai kelompok profesi dan status secara massif. Pelecehan seksual, prostitusi dan video porno diketemukan sejak lingkungan santri seperti Madura sampai kota metropolitan seperti Surabaya. Dilakukan oleh golongan hedonis sampai golongan yang merupakan kelompok terhormat dalam masyarakat semisal guru sekolah, aparat negara, guru ngaji sampai anggota parlemen. Telah terjadi massifikasi asusila di negeri ini.

Nilai-nilai luhur tentang kesusilaan dan juga norma edukatif seakan hampa dan tak memiliki kewibawaan untuk ditaati. Gejala ini biasa disebut nominalisme dalam ilmu psikologi. Menurut Roscellinus, nominalisme menunjukkan hanya satu hal yang berperan yaitu individu-individu pelaku kehidupan. Adapun tentang gagasan, kata-kata bijak, norma dianggap sesuatu yang hampa atau absurd. Gagasan, kata atau norma yang absurd dan mengalamai disfungsi ini biasa disebut flatus vocis. Eksistensi seseorang hanya dinilai dari eksis fisiknya semata, dan bukan transformasi gagasannya. Lingkungan, orang tua, masjid, sekolah, hukum positif dianggap tak absolut dan tak berperan lagi.

Lihatlah para pelaku asusila menganggap sepi sekian gagasan tentang norma yang harus ditaati. Semuanya dinisbikan demi tercapainya ambisi yang ingin dicapai. Patut menjadi pertanyaan, apakah keluarga-keluarga pelaku atau lingkungan sekitar pelaku hidup adalah unit-unit identitas tanpa gagasan norma sama sekali. Rasanya itu tak mungkin. Para orang tua pelaku serta lingkungan sekitar sang siswi SMA maupun guru wanita pasti mengenal norma dan tak ingin terjadi perbuatan menyimpang. Dalam sejumlah kasus, sering diketemukan para orang tua pelaku asusila adalah orang-orang agamis dan perduli terhadap norma. Namun, hedonisme sekuler telah meruntuhkan semuanya. Orang tua dan lingkungan diabaikan dan dianggap tiada oleh para pelaku.

Ironisnya, para pelaku terkadang tak malu memamerkan perbuatannya. Dalam kasus Pakong bergetar, si pelaku yang guru PAUD dan SD itu justru menggunakannya sebagai alat bargaining dengan orang tuanya. Pemberitaan di koran-koran menyebutkan bahwa, pelaku menunjukkan rekaman adegan mesumnya kepada orang tuanya agar pilihan cintanya direstui. Sebuah perbuatan fantastik kalau diukur dari parameter kejiwaan normal.

Inilah pula yang disebut histrionisme. Pelaku ingin diperhatikan dalam kondisi yang tak lagi wajar. Seorang penderita gejala histrionik biasanya akan menghalalkan segala cara agar dirinya betul-betul menjadi pusat perhatian dan kemudian diakui eksistensi dan ambisinya. Histrionisme juga tak lagi membuat pelaku untuk menampilkan dua wajah dalam setiap gerik kehidupannya. Dulu, para pelaku asusila selalu tampil dalam dua wajah. Wajah Imajiner yang disosialisasikannya kepada masyarakat serta wajah orisinal watak kepribadiannya. Para pelaku biasanya takut untuk menampilkan wajah aslinya kedepan khalayak. Hipokrasi selalu dipilih sebagai ruang berekspresi. Pada kasus-kasus diatas, boleh jadi dulunya para pelaku menampilkan dua wajah ini dalam drama sosial di masyarakat. Drama sebagai seorang guru anak usia dini yang terkesan lembut, penyayang dan sabar meskipun diam-diam menjalin hubungan intim ilegal dan drama sebagai seorang remaja ingusan yang masih sekolah SMA dan tak pernah mengenal permainan dewasa. Namun, ketika video mesum itu beredar, dua wajah ini tak bisa dimainkan lagi. Hanya ada satu peran tunggal yang telah disosialisasikan kepada khalayak. Wajah hasil sosialisasi dan wajah cerminan hati disatukan dalam jiwa yang histrionik.

Ketika kondisi nominalis dan hitrionis terjadi sebagaimana diatas, maka mau tak mau perlu dilakukan revitalisasi gagasan agar hidup di masyarakat. Norma harus lebih keras diterapkan oleh keluarga dan juga lingkungan. Sanksi sosial serta seleksi atas perilaku hidup harus lebih dioptimalkan oleh masyarakat. Kasus-kasus asusila bukan terjadi karena tiadanya norma, namun karena makin relatifnya fungsi norma. Disfungsi norma telah memicu nominalisme, karenanya ruang agama, pendidikan dan hukum harus bergaung lebih tegas dan berani.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial.

Demokrasi 2004 dan Aspirasi Muslim Pinggiran

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Kompas Jatim 21 Agustus 2004
Dibandingkan dengan orde-orde sebelumnya, substansi primer demokratisasi Indonesia memang menaik secara massif. Pemilihan Umum legislatif dan dilanjutkan dengan pemilu presiden adalah sederet bukti yang ikut memberikan kontribusi cita rasa baru pada hakikat demokrasi, terlepas dari rezim yang akan mengomandani biduk superplural bernama Indonesia.
Sebagai sebuah entitas yang tidak monolitik, kaum muslim berhak juga menuai berkah atas proyek demokrasi partisipatif-sistem inovatif perpolitikan kontemporer. Kalkulasi politik nasional kekinian itu telah memberikan honor lebih berupa diabsahkannya variasi segenap ideologi dan pandangan politik keislaman untuk mengjewantahkan dirinya dalam kancah pertarungan politik. Mungkin inilah legalisasi adagium “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat” yang mulai menemukan formatnya setelah keran aspirasi tersebut tersumbat puluhan tahun. Apa pun pandangan keislaman yang dimiliki berhak untuk hidup dan tumbuh dalam biosfer politik nasional.
Secara agresif, demokrasi 2004 telah menampilkan khazanah taman bunga yang warna-warni. Pada harakah (gerakan Islam) dan grup usroh, misalnya, tidak pusing lagi untuk menemukan saluran aspirasi politiknya. Sebagai sarana mengekstensikan diri, mereka bisa memilih PKS atau partai berasas Islam lainnya.
Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang terkategorikan sebagai muslim pinggiran? LDII, IJABI, Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal, Jamaah Tarekat Qadirun Yahya, atau yang sejenis. Meskipun rezim Megawati tak serepresif orde baru yang pernah mengeliminasi Darul Arqam dan membatasi gerak Islam Jamaah dalam aspek futuristik, muslim pinggiran berhak mempertanyakan sejauh mana historisitas mereka akan diakui, terutama oleh rezim 2004 yang bakal terbentuk.
Bagi muslim pinggiran, hal ini tidak saja penting guna kepentingan survive dari prediksi tereliminasi karena ekosistem politik Indonesia yang tidak ramah. Lebih urgen, muslim pinggiran bukanlah komunitas bayang-bayang semu yang tidak pernah realistis di hadapan publik. Muslim pinggiran adalah human source terbaru yang pernah sukses mengantarkan kontribusi kebudayaan seperti Nasyid Darul Arqam, tarikat Qadirun yahya yang menggugah atau bedah filsafat dan pemikiran model Syiah. Secara historis, muslim pinggiran bukanlah konstruksi yang tidak mengakar. Kekayaan khazanahnya adalah komoditas komplementer yang bisa melengkapi “produk mapan” di swalayan keberagamaan muslim mayoritas.
Dengan demikian, siapa dan apapun rezim 2004 yang teerbentuk nantinya harus bisa menyeimbangkan keadilan dan egaliterianisme terhadap mizan demokrasi. Bagi muslim pinggiran, pentingnya bukan saja demikian besar kontribusi mereka pada peradaban. Ahmadiyah misalnya, terlepas dari kontroveersi Khatamul Anbiya’, mereka telah sukses menerjemahkan Alquran kedalam puluhan bahasa dunia, sementara Syiah, pada era 1980-an ikut andil membesarkan ghirah keislaman di kampus-kampus lewat Revolusi Iran yang prestisius.
Demokrasi 2004 harus mewaspadai munculnya keagamaan yang sok superior dan menilai sebelah mata keyakinan muslim lainnya. Sebagai sistem yang respek terhdap pluralitas, demokrasi 2004 semestinya betul-betul berdiri di atas pola pikir yang fair (adil) terhadap arus peradaban. Exposure (keterbukaan) terhadap pandangan keagmaan “the other” adalah poin penting yang harus disertakan dalam keberagamaan masa global.
Muslim pinggiran berhak khawatir karena posisi mereka selama ini selalu didesak progresifitas kebergamaan yang terprovokasi otentisitas agama yang dogmatis, intoleran, serta ahistoris. Muslim pinggiran selalu didudukkan dengan manis di atas kursi subordinat peradaban. Padahal dalam lalu lintas peradaban global, muslim pinggiran adalah komunitas yang tidak dapat dihindari kehadirannya. Dalam transkultur internasional, menafikan hadirnya muslim pinggiran sama saja dengan merelatifkan transformasi keislaman sendiri.
Konteks politik akhir-akhir ini menunjukkan kuatnya simbol dan formalitas agama terusung dalam bendera sejumlah kelompok muslim. Dengan kritis, muslim pinggiran berhak menggugah seberapa besar komitmen mereka untuk menyejarahkan fitrah beragama yang toleran. Pasalnya meski absah secara secara konstitusi, tidak jarang musslim pinggiran harus di-sweeping seperti yang menimpa pengikut Ahmadiyah dan LDII di pulau Lombok.
Hakikat sebenarnya dari beragama secara demokratis adalah penghargaan terhadap pluralitas. Ada jalan untuk mengenal Tuhan, bukan saja dengan rasio tapi juga dengan rasa. Kaum salafi bisa saja menghukumi bid’ah terhadap tarekatnya Qadirun Yahya atau tasawufnya muslim Syiah. Meski dengan menggunakan piranti Alquran dan hadits tetap saja itu relatif. Sebab, rasa beragama dalam tasawuf tidak akan pernah terdeteksi oleh pemikiran macam apapun. Tuhannya orang bertarekat tetap berbeda “maqam” dengan Tuhannya para pemikir atau pakar fikih sekalipun. Tentunya, skoring nilai terhadap muslim yang dituding bid’ah dan sesat lebih obyektif jika tanpa didahului stereotip negatif (su’udzhan), melainkan meninjau secara komprehensif segala aspek yang tersirat. Dalam waktu dekat, muslim pinggiran masih bisa bernafas lega. Pasalnya, kaum salafi yang merupakan lawan tanding di arena percaturan keagamaan toh tidak pula dominan di arena politik nasional.
Tantangan predictable terbesar justru akan datang dari komunitas muslim mapan yang mengokohkan diri sebagai satpam akidah ahlu sunnah wal jama’ah. Kaum sunni di tanah air terutama mereka yang digolongkan “fundamentalis” berpotensi meluruk pluralitas keagamaan muslim pinggiran. Barisan yang satu ini lebih bertugas sebagai cagar budaya daripada gerakan reboisasi keagamaan. Meski tidak semua, terdapat sejumlah kalangan yang respek dengan perbedaan paham muslim lainnya seperti ulama Nahlatul Ulama (NU) dan juga Muhammadiyah. Akan tetapi, problematika yang membarikade, arus inkulsifitas dan pluralisme tidak pernah mengalir dari hulu ke hilir serta mengairi keagamaan massa akar rumput. Contohnya, massa NU di Jatim masih alergi dengan Syiah, bahkan Islam Liberal, yang dikomandani kaum mudanya sendiri.
Menista muslim pinggiran sama saja dengan mendepak demokrasi. Dalam ambivalensi beragama yang disupport trend radikalisme dan teksualitas mengbu-gebu, keberagamaan menjadi obsesif. Sebagai energi demokrasi, agama harus menyuplai tidak saja proyek reproduksi nilai yang berakselerasi dengan demokrasi, tetapi juga penisbian akan keakuan diri. Manifestasi tauhid memberi jalan bagi proses dialogis antara keyakinan dan keberagamaan yang tidak monolitis. Jika itu pasti dalam rezim baru 2004, itulah yang seharusnya karena selaras dengan pluralitas, grand design Allah yang Maha Besar.
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Mantan Kabid Dakwah PMII FISIP UNEJ.

Menakar Ulang Relasi Islam dan Tayub

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Kompas Jatim Juni 2005
Persoalan Relasi Islam dan kebudayaan selalu diporoskan pada perlunya reorientasi terhadap aspek dominan dalam arus kebudayaan tradisional, utamanya yang berbasis kejawaan. Nilai dominasi kebudayaan Jawa bagi kalangan tertentu, utamanya Islam puritan, dianggap sebagai penetrasi definisi lokal yang memungkinkan terjadinya aborsi ikhtiar regional islamisasi di segala bidang. Sedangkan bagi komunitas kebudayaan tradisional, reformulasi kultur berkesenian yang menyertakan elemen Islam sebagai pakem baru bagi standardisasi kesenian dianggap sebagai reduksi terhadap nilai khas yang menyertai irama batin kesenian.
Dilema tayub masih menggurita dalam berbagai diskursus berkesenian di Jawa Timur. Tidak saja kalangan santri, bahkan elit intelektual dan sebagian aktivis muslimah organisasi Islam menyertakan negative thinking dalam memandang aktivitas kesenian satu ini. Tayub tidak saja dipandang sebagai perilaku nyeleneh dalam kesenian, tetapi dalam spektrum lebih lebar, tayub juga didefinisikan sebagai representasi ilegalitas dari kebudayaan keseharian sang pelaku. Penari tayub adalah mereka yang melegalkan pelacuran di balik layar tarian, aktor strategis dalam invasi-invasi terselubung terhadap rumah tangga kaum pemujanya. Bahkan, referensi historis kedekatan segelintir aktivis kesenian Jawa dengan Lekra-nya PKI masa lampau, meskipun sifatnya parsial masih sering dijadikan sandaran bernalar, kesenian ini dianggap ancaman terhadap kestabilan kebudayaan sendiri.
Sejujurnya di basis-basis santripun, kesenian hidup berkat akseptabilitas masyarakat pendukungnya. Di pulau santri Madura, tandha’, penamaan tayub dalam bahasa Madura mendapatkan support (dukungan) dari masyarakat pedesaan yang jelas merupakan komunitas pendukung Islam. Tubrukan antara kaum santri dan para pendukung tandha’ tidak pernah menjadi isu signifikan dalam membangun ekosistem yang menjustifikasi survive-nya kesenian ini.
Tandha’ sering digelar dalam berbagai acara ,bahkan dalam ngremo carok, suatu perkumpulan para jagoan Madura (blater). Pada hajatan tersebut, tandha’ sering diajangkan meski pemainnya adalah lelaki yang disulap mirip perempuan. Tetapi, perubahan tampilan tandha’ ini toh bukan sebuah kecenderungan Islami. Pasalnya, perubuhan seperti ini tetap bukan Islamisasi. Pentas insidental mirip wanita oleh pemain tandha’ pria merupakan gaya seni yang ditentang absolut oleh mayoritas ulama.
Ironisnya, seni tayub bagi kalangan tertentu di Jatim merupakan nada urgen dalam irama kesenian Jawa. Dia dihadirkan setiap ada hajatan personal, bahkan untuk kepentingan lebih akbar, menjaga keseimbangan kosmos. Pada musim panen, tayub diiringkan sebagai ekspresi obsesif tentang keharusan “puji syukur” pada Gusti Pangeran. Tanpa disadari, tayub sebenarnya memuat unsur positif kelanggengan eksistensi Yang Mahakuasa yang diinformalkan dalam tradisi. Sebuah penisbian tidak berdasar kalau asosiasi tayub sebagai jalan berseni yang sama sekali absen terhadap religiositas.
Islam Kreatif
Lalu, mungkinkah intervensi Islam memasuki rruang kesenian ini? Bisakah tayub dimetamorfosiskan menjadi seni artistik Islam yang eksotik? Dalam sejarah tradisi Jawa, islamisasi tidak pernah menempuh jalur presensi yang murni total. Konsep Islamisasi dalam kebudayaan Jawa klasik selalu mengambil arah indigenisasi (pribumiisasi). Secara harfiah, nilai-nilai kearifan lokal tidak dihilangkan, tetapi diperkuat dan direstrukturisasi dengan konsep inti dalam Islam.
Jika eksotisme berkesenian selalu dikoneksikan dengan sesuatu yang dianggap archaic, karena itu memerlukan satu inisiatif untuk menginvasinya, penyematan Islam dalam tayub haruslah diseiramakan dengan cara pembacaan terhadap “narasi tak terbaca”, berupa fenomena samar yang tidak menyembul dalam permukaan seni. Artinya, pembebasan terhadap pelaku tayub, utamanya kaum perempuannya, harus memutus rantai penindasan kultur berupa keabsahan lingkungan, pemberian stigma jelek terhadap kesenian ini.
Narasi agama harus bisa memilah sisi eksotis dan sisi erotis dari sebuah kesenian. Terkadang, karena cara pandang yang keliru, pelarangan terhadap aspek erotis dari sebuah kesenian malah sekaligus menghilangkan sisi eksotisnya. Bagi tayub, sisi permasalahan erotisme justru lebih mengemuka pada sisi di luar panggung. Ketika pemain wanita, misalnya, bersedia di-booking setelah pentas, sisi ini harus diberantas benar-benar. Sebab jangankan agama, kearifan lokal juga mencelanya.
Sisi penyelenggaraan tayub yang diselaraskan demi harmoni kosmos, menurut saya, merupakan sisi eksotis-religius yang semestinya dilegalkan agama apapun. Karena eksotisme merupakan penafsiran yang bisa lokal dan juga universal, Islam selayaknya tidak menomorsatukan debat khilafiah, seperti apakah penampilan wanita di depan publik dan dendang suara wanita merupakan aurat atau bukan. Dalam pentas Islam universal yang pro domestifikasi, tayub eksotik selayaknya diberi kelayakan hidup karena menyangkut multifungsi agama dalam relasi strategis dengan ekonomi, jender, sekaligus seni budaya.
Eksotisme adalah area yang harus mengikutsertakan akal publik dan sisi kemaslahatan kesenian bagi ruang beragama yang lebar. Tayub dan Gusti Pangeran adalah sisi terang berkesenian Jawa yang sering terhapus dialektika ordinan Islam murni di atas Islam lokal. Tayub adalah jalan klasik kreatif dalam pembelaan honoritas terhadap gaung Ketuhanan dalam kosmos.
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.

UAN Itu Perlu, Tapi….

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Jawa Pos Sabtu, 8 Mei 2004
Minimal terdapat dua hal yang menjadi kontroversi UAN. Pertama, berkaitan dengan heboh passing grade yang serba membingungkan bagi komunitas plural pendidikan nasional. Kedua, berkaitan dengan sistem pendidikan kita yang bisa dibilang amburadul. Bukan merupakan isu lagi bahwa penerapan pola dan kebijakan pendidikan di negeri ini masih berkaitan dengan penyakit kronis bernama mismanajemen. Pengelolaan pendidikan yang dirantai budaya KKN, kepemimpinan yang lemah di tingkat lokal, dan kapabilitas kaum pendidik masih perlu diberi tanda petik.
Passing grade dihebohkan dengan daya maksimal tiap sekolah yang berbeda-beda untuk bisa mencapainya. Di satu sisi, passing grade lebih meengedepankan pola pikir akademik-pedagogiknya dan mendepak jauh-jauh aspek sosial-pedagogiknya. Jika UAN menjadi acuan mutlak pendidikan kita, secara evolutif sebenarnya sebenarnya sistem pendidikan nasional pelan-pelan berupaya menciptakan manusia-manusia yang hanya sanggup berhadapan dengan kertas ujian dan tak capable berperan sebagai problem solver bagi seribu krisis multidimensi negara ini.
Soal mekanisme pendidikan nasional yang tak jauh dari neraca mismanajemen patut disoroti. Hal itu juga menjadi integral part dari proses pembelajaran pendidikan kita. Lompatan yang tidak akan menjejak bumi lagi manakala pemerintah hanya terfokus bagaimana menciptakan kelulusan siswa berdasar atas kategori 4,01 yang ditetapkannya. Sementara itu, mekanisme kerja KKN yang melingkupi dunia pendidikan tidak diberantas sebagaimana mestinya. Hal itu juga berkaitan dengan kualitas guru yang sering tidak sebanding dengan logika kepentingan global sebagai acuan perdana dunia pendidikan kontemporer.
Jika UAN diaplikasikan untuk menggenjot siswa dan seluruh komunitas pendidikan untuk betul-betul perduli terhadap tugas belajar mengajar, acungan jempol selayaknya dialamatkan ke Depdiknas daripada cibiran bernuansa cemooh. Adalah langkah fantastis manakala Depdiknas berapologi bahwa standardisasi mutlak diterapkan di seluruh wilayah pendidikan nasional. Dalam tataran positif, hal itu bisa dimaknai sebagai proses uji kelayakan terhadap mutu pendidikan nasional kita. Dari tahun ke tahun, dari berbagai orde, mutu pendidikan kita tidak beranjak dari peringkat bwah diantara deretan negara-negara Asia, bahkan Asia Tenggara seperti Malaysia. Negara tetangga ini mampu melaju sedemikian cepat dan dengan spektakulernya bisa menyaingi negara kita.
Tapi, apakah fluktuasi pendidikan Indonesia serta merta bisa diselesaikan dengan menggunakan UAN sebagai standar kualitas pendidikan nasional. Lalu, dengan mengerahkan energi siswa dan power guru, pihak sekolah mati-matian menciptakan kelulusan mendekati seratus persen. Sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai, minusnya guru berkualitas, lemahnya aplikasi-aplikasi kebijakan pendidikan nasional di tingkat lokal adalah “romantika” pendidikan yang belum teratasi.
Yang aneh, di atas segala kelemahan itu pemerintah bisa-bisanya berinovasi dengan menggunakan UAN sebagai parameter pendidikan nasional. Dengan demikian, bervariasinya problem di tingkat lokal itu pasti akan membuat pihak sekolah, terutama guru dan siswa, terburu-buru dan ngebut berupaya agar bisa meluluskan siswanya. Tanpa disadari, UAN secara spontan akan menciptakan mekanisme kerja operasional yang radikal dari pihak guru dan murid untuk mengejar sebisa-bisanya standar itu.
Sebenarnya UAN tidak layak dijadikan parameter tunggal bagi peningkatan mutu anak didik kita. Sebab, UAN hanya berisi butir-butir soal dari materi pelajaran yang dimensinya lebih mengarah pada akademik-pedagogik. Sementara itu, dimensi akademik pedagogik bukanlah faktor absolut dari kerja pendidikan kita. Tujuan pendidikan sebagaimana tercantum dalam 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa-lebih membutuhkan model pendekatan sosial-pedagogik daripada sekedar mentalitas akademis. Dunia pendidikan kita seharusnya tidak menjadikan para siswa sebagai hafidz science semata. Sebab, kapabilitas penguasaan materi tidak tidak serta merta akan menjadikan siswa peka terhadap historisitas lingkungan, juga akan merekatkan siswa terhadap dunianya dan lepas dari konteks pendidikan mencerdaskan dan membebaskan.
Selain itu, jika kita menggunakan logika global yang bernada kompetitif, apakah UAN memang diformat untuk kepentingan antisipasi kemajuan global ataukah hanya sebuah upaya menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan dari kebijakan pemerintah. Memang, mekanisme UAN yang menempatkan tiga mata pelajaran itu cocok untuk pluralitas pendidikan Indonesia. Siapa dan apa pun sekolahnya, bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika mutlak dikuasai. Demikian juga, di sekolah kejuruan dan madrasah, penekanan pada tiga pelajaran itu memang sudah waktunya direalisasikan. Tapi, sejatinya tantangan global tak cukup bisa diatasi dengan UAN. Sebab, kompetisi global membutuhkan logika, inovasi dan daya tahan emosi.
UAN tetap harus dilaksanakan. Namun, pemerintah harus menyediakan kurikulum baru yang berdiri betul-betul diatas logika berpikir nonhegememonik, memperhatikan aspek keseimbangan emosional, dan kreativitas daya nalar siswa.
Penulis adalah mahasiswa FISIP UNEJ.

Ramadhan, Iqra’ dan Takwa Transformatif

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Rubrik Utan Kayu Jawa Pos 7 November 2004

Saya melihat ada dua golongan orang dalam memaknai ramadhan. Pertama, mereka yang memahami ramadhan sebatas rutinitas dalam siklus periodik keagamaan. Golongan ini melaksanakan puasa serta dimensi ritual ramadhan lainnya, tak lebih dari sebuah selebrasi glamor. Mereka tak berikhtiar untuk mengadopsi semangat emansipasipatoris dan liberatif Quran.
Kedua, mereka yang berupaya mencapai makrifat ramadan tertinggi, dengan ibadah maksimal. Golongan kedua ini terpukau dengan bonus surga dan ganjaran berlipat. Identifikasi kelompok ini terbaca dengan ramainya salat berjamaah lima waktu pada bulan ramadan saja, iktikaf di masjid, dan besarnya nominal zakat yang dikeluarkan. Namun, tanpa membudayakan berpikir reflektif-kondisional.
Itulah realisasi Islam yang paling diminati publik.
Lalu, adakah golongan alternatif?. Mereka adalah golongan misioner yang mampu ke puncak totalitas masyarakat serta membawa ramadan kepada mizannya yang hakiki. Kaum ketiga inilah sebenarnya yang, menurut saya, dimaksudkan Alquran sebagai komunitas takwa dalam kesejarahan ramadan.
Takwa memang gol hakiki ramadan. Namun, pemaknaan takwa ini seakan tercerabut dari proses berpikir komprehensif. Ini bukan saja memandulkan agama dari hulu ke hilir, tapi bahkan tidak berperan sebagai irigasi yang mengairi rasa keberagamaan dalam kemarau spiritualitas.
Harap diingat, puasa selalu dikaitkan dengan umat masa lalu. Lahirnya agama Islam adalah keberlanjutan umat samawi pra-Islam. Dengan kata lain takwa sebagai tujuan puasa adalah proses yang endless (tiada akhir) sampai kiamat tiba.
Ramadan juga ditandai momen awal turunnya Alquran. Iqra’ sebagai manifestasi awal dari wahyu memberikan makna bahwa pembacaan terhadap realitas adalah etika dasar dalam memaknai teks-teks wahyu. Surat Al Alaq 1-5 memberikan sejumlah poin penting. Fenomena iqra’ ini bisa untuk memicu perubahan fundamental dalam religiusitas massif.
Kalimat iqra’ bismi rabbikal ladzii khalaq, bacalah dengan nama Tuhanmu (Muhammad) yang menciptakan (QS 96:1), bukannya iqra’ bismillahil ladzii khalaq, bacalah dengan nama Allah yang menciptakan, memberi isyarat revolusioner bahwa transformasi beragama Rasulullah adalah antitesis yang sama sekali lain terhadap religiusitas status quo. Kenapa kalimat itu harus berbunyi dengan nama Tuhanmu dan bukannya dengan nama Allah saja?.
Haruslah kita sadari, bahwa ketika wahyu pertama turun, agama samawi sudah mengakar dalam basis umat rasulullah sendiri. Kata Allah atau Yahweh dalam lafal Ibrani sudah dikenal, begitu juga lafal Allah bagi kaum nasrani. Bahkan paganis Mekkah penyembah Latta dan Uzzapun juga mengenal Allah, karena bagaimanapun mereka adalah generasi yang pernah dibumikan syariat Ibrahim dan Ismail.
Lafal rabbika seakan memeri poin kreatif bahwa agama yang bernama Islam adalah reparasi ketuhanan untuk kembali ke fitrah tauhid, setelah dininabobokan kemusyrikan. Iqra’ adalah penemuan kembali (rediscovery) terhadap kebenaran yang hilang.
Sebagai wahyu pertama, iqra’ kemudian diakhiri dengan kalimat, Allamal Insaana maa lam ya’lam, Allah mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya (QS 96:5). Fenomena iqra’ ini menjadi pernyataan teologis-argumentatif, Tuhan sebagai guru manusia, sebagaimana Tuhan mengajar Adam tentang nama-nama (QS 2:31), adalah Tuhan yang Haq dan tunggal dalam mengisi rapor keimanan setiap manusia. Hal ini memberi makna bahwa iqra’ sebagai pembacaan hakikat alam semesta, tidak memiliki perbatasan tertentu. Sebagai sentral kebenaran, absolusitas dalam memaknai religiusitas hanyalah hak Allah semata. Manusia hanya berupaya menyelaraskannya dalam ikhtiar maksimal sesuai apa yang dijarkan Allah dalam kitab suci.
Jika demikian, puasa adalah wisata religius yang mengkombinasikan spiritualitas (takwa sebagai tujuan) plus intelektualitas (Iqra’ sebagai pembacaan atas dan fenomena sekitar) sekaligus. Seorang muslim yang memiliki parameter, bahwa takwa adalah proses tanpa akhir, akan tersu berinovasi melawan rezim kemandekan berpikir dalam beragama. Takwa tidak akan dimaknai pada garis finis tertentu. Tapi, akan terus berposisi sebagai titik awal keberagamaan, dengan terus menerus menggunakan iqra’ sebagai sandaran nalar berpikir guna mencapai tujuan akhir, keharmonisan alam semesta (rahmatan lil alamin).
Islam bukanlah harmoni yang terlepas dari sejarah masa lalu. Naik tenggelamnya bangsa-bangsa lampau adalah juga keterpurukan kemanusiaan yang tidak mampu mengakselerasikan diri dengan getaran-getaran la’allakum tattaquun” I’tibar Alquran memberikan nuansa paling bernilai, bahwa romantika beragama selalu berada dalam siklus yang tanpa henti berkonfrontasi dengan kekufuran. Disini, totaliarianisme dalam tafsir beragama merupakan bagian dari sistem kufur. Mereka terllau jauh mengolonisasi pemikiran manusia dengan “ilusi” sorga di langit tapi justru melanggengkan annar (neraka) di bumi.
Ramadan adalah sekolah kemanusiaan dengan latihan aktualisasi sebulan penuh. Menilai diri menjadi takwa pada bulan ramadan hanyalah reduksi keimanan hidup (living faith) semata. Urgensi ramadan justru terletak dari neraca gerakan individu dalam transformasi-liberasi masyarakat dari kejumudan pasca ramadan. Kemudian mampu mengintervensi dinamika publik ke gerbang keselamatan dan juga salam (perdamaian).
Dengan demikian ramadan tidak boleh terpenjara dalam potret subjektivitas beragama yang tidak revolusioner. Ramadan juga harus mampu memprovokasi otentisitas beragama yang didukung nalar kritis dengan melihat masyarakat yang harus diselamatkan dalam biduk beragama individu muslim. Dzikrullah dan juga pemberdayaan potensi akal merupakan inti takwa. Maka, jika terjadi simbiosis antar keduanya bisa menjadi pakem ke arah unity of humankind (kesatuan kemanusiaan), karya tertinggi dalam realisasi tauhid Allah di muka bumi.
Pembebasan masyarakat selalu dimulai dari kepedulian diri terhadap kondisi masyarakat secara reflektif. Proses alienasi positif-kreatif (iktikaf) pernah dialami para rasul besar sebelum menapaki pencerahan, berupa turunnya wahyu yang membebaskan.
Alienasi (iktikaf) Rasulullah di gua Hira’, Musa di Tursina, juga Yesus di Seir adalah sekelumit narasi romantis dari kisah-kisah nabi yang berusaha keluar dari atmosfer materialisme, jahiliyaisme, serta perbudakan umat sendiri terhadap elemen non jahiliyah (syirik). Alquran sebagai pedoman kaum muslim, takwa sebagai tujuan, iqra’ sebagai nalar berpikir, juga ramadan sebagai latihan kesinambungan sejarah merupakan konstruksi primer terpadu bagi munculnya inisiatif pembebasan masyarakat.
Takwa adalah inovasi kreatif sebagai medium menuju masyarakat baru. Masyarakat yang tidak terbungkus daya kritisnya dengan teks-teks agama yang memfosil. Sekali lagi, ramadan adalah ikhtiar muslim dalam skala massal guna memproteksi diri dari paranoid kekufuran menuju fitrah humanistik Idul Fitri.
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNEJ dan Mantan Kabid Dakwah PMII FISIP UNEJ.

Mengapa Orang Madura Gemar Pergi Haji

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Okezone.com 4 Oktober 2010

HAJI bagi masyarakat Madura melambangkan vitalitas yang sinkronis-diakronis antara Islam dan kultur lokal. Ungkapan Mas Towan dan Bhu’ Towan bagi orang yang naik haji dalam tradisi Madura masa lalu menunjukkan proses sinkronisasi tersebut.
Dalam leksikon Madura, Towan dinisbahkan bagi individu yang tercampur dalam dirinya darah keturunan Arab. Secara kultural, Towan (Indo-Arab) menjadi sebuah penanda simbolisasi sakralitas akan tanah Arab yang dianggap suci.
Dengan demikian, tanah Arab dianggap bukan saja sebuah poros spiritual, lebih daripada itu ia merupakan magnet kultural yang dapat direferensi secara tematik. Para haji dianggap memiliki kedudukan kultur sejajar dengan towan Arab yang memiliki tempat tersendiri dalam harmoni masyarakat Madura.
Historiografi haji Madura masa lalu pun memperkuat hal ini. Posisi para haji yang demikian penting terkadang mengundang pemerintah Belanda untuk mengawasi para haji yang baru pulang dari tanah suci.
Politik spionase ini dipicu teori politik Snouck Hurgronje tentang hubungan antara ibadah haji dengan Pan Islamisme. Para haji nusantara termasuk Madura sendiri disinyalir terpengaruh oleh ide ini. Pan Islamisme, nasionalisme, transformasi keilmuan Islam serta tentunya penyebaran bahasa Melayu menjadi sisi penting dari ibadah haji (M.V. Bruinessen:1990).
Pemerintah Hindia Belanda sendiri menyebut bahwa kaum haji di Madura pada awal-awal abad 20 telah mencapai 4 orang per seribu penduduk. Para haji tersebut juga menjadi transformer ideologi Islam antikolonialisme.
Pengaruh ideologi Islam dari luar inilah konon yang mengilhami pemberontakan Kiai Semantri dari Prajan Sampang pada tahun 1895. Disinyalir, Kiai Semantri mendapatkan ilham untuk melawan Belanda setelah dikader seorang haji alumni Makkah (Kuntowijoyo:1988).
Naik haji di masa lalu sangat sulit. Selain keterbatasan finansial karena harus membeli tiket pergi pulang (retourbiljetten) yang mahal, transportasi juga menjadi problem sendiri. Para zaman sebelum tahun 1922, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang.
Dapat dibayangkan, bahwa para jamaah haji Madura saat itu harus pergi terlebih dulu ke Batavia baru kemudian naik kapal laut menuju Jeddah. Apalagi, biaya haji saat itu sangatlah mahal yang berkisar antara 570 sampai 856 gulden pada awal abad 20. Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda.

Selain beribadah, tak jarang para haji juga menuntut ilmu di Tanah Suci guna menunggu kapal pengangkut yang akan datang kemudian. Para calon haji biasanya datang pada bulan puasa agar bisa berpuasa di Haramain.
Selama di kota suci ini, mereka berbaur dengan sesama jamaah haji Nusantara dan dunia serta mendalami ilmu agama dan tarekat dari para ulama nusantara yang ada. Ibadah haji telah membentuk semacam jaringan mukimin Jawi (sebutan bangsa Arab terhadap orang Nusantara). Salah satu dari sub jaringan itu adalah Jaringan Al Manduri, yaitu para mukimin dan ulama keturunan Madura di kota Makkah dan Madinah.
Aboe Bakar Djajadiningrat, drogman konsulat Belanda di Jeddah menyebutkan bahwa pemukim Madura pada tahun 1913 saja telah mencapai 140 orang. Mereka tersebar di berbagai pusat studi Islam yang ada di Haramain. Beberapa diantaranya merupakan ulama yang telah lama bermukim di Makkah serta memiliki sejumlah murid.

Laporan asisten mufti Makkah Sayyid Abdallah Zawawi menyebut dua ulama Madura yang mengajar di Makkah yaitu Syekh Ismail Madura dan Syekh Abd Azim dengan lama mukim puluhan tahun (Putuhena:2007). Terdapat pula tokoh tarekat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah Madura, Kiai Ahmad Hasbullah Bin Muhammad (M.V. Bruinessen: 1994) Jaringan Al Manduri ini begitu menggairahkan tidak saja karena melahirkan ulama-ulama besar di Madura tapi juga berperan sinergis dalam penyebaran keilmuan dunia.
Kiai Kholil Bangkalan, Syekh Akram Al Manduri, serta sejumlah ulama pesantren besar di Madura merupakan produk signifikan interaksi ibadah haji dengan proses menuntut ilmu. Mereka juga menyebarkan kitab-kitab karya Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfuz Al Termasi, Syekh Yusuf Al Maqassari, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi serta para mursyid tarekat.
Mereka pun membangun jaringan kemitraan dengan ulama-ulama Arab seperti Sayyid Abbas Alwi Al Maliki dan Sayyid Ahmad Dahlan. Dalam menjalankan manasik haji, para haji Madura biasanya memakai kitab Manasik seperti yang dipakai jamaah haji lain dari nusantara yaitu Al Hajji Wal Umrah karya Syekh Daud Al Fatani atau kitab Manasik karya Sayyid Usman Bin Yahya.
Ibadah hajipun ikut memperkuat tarekat. Di Madura sendiri tarekat disebarkan dengan dua model yaitu melalui mursyid lokal serta melalui mursyid internasional di Mekkah-Madinah.
Tarekat-tarekat yang ada di Madura seperti Naqshabandi, Tijaniyah, Syattariyah, Qadiriyah Wa Naqshabandiyah disebarkan dengan dua cara ini. Para haji Madura biasanya menambahi ijazah dan ilmu tarekatnya dari para mursyid internasional yang ada di Makkah setelah sebelumnya berbaiat pada mursyid atau khalifah tarekat lokal.
Di Jawa Timur sendiri, Tarekat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah dan Naqshabandi banyak disebarkan oleh orang-orang Madura yang mendapat ijazah emas Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Syekh Saleh Al Zawawi.
Tidak hanya itu, ibadah haji juga ikut menyebarkan bahasa Indonesia di antara para jamaah haji yang beraneka ragam etnisnya (M.V.Bruinessen:1990). Domisili yang lama di Makkah melahirkan interaksi komunikatif antar jamaah haji nusantara. Bukan tidak mungkin kalau haji Madura juga mengalami transformasi bahasa Melayu ini. Ibadah haji secara langsung ikut memasyarakatkan bahasa Melayu diantara bangsa Indonesia termasuk Madura.
Laporan Snouck Hurgronje awal abad akhir abad 19 juga menyebutkan betapa dahsyatnya perbincangan tentang perang Aceh di antara masyarakat Nusantara di Makkah. Bagi komunitas Madura sendiri, perang Aceh memiliki nilai tersendiri.
Pasalnya, banyak serdadu Belanda dalam perang Aceh merupakan orang Madura yang tergabung dalam milisi Barisan bersama Korps Marsose lain yang berasal dari Jawa, Menado dan juga Ambon. Militer “Belanda hitam” inipun disebut kaphee (kafir) oleh orang Aceh.
Dapat dibayangkan bagaimana jika perang Aceh diperbincangkan diantara komunitas Nusantara di Tanah suci, Sementara terdapat fakta bahwa tentara kafir Belanda sendiri sebagian berasal dari mereka sendiri.

Bisa jadi, pada kasus ini, para haji Madura berperan sebagai pelumas stigma negatif tersebut. Para Haji Madura merupakan pegangan (hujjah) hidup bahwa tidak semua orang Madura itu bengis dan menjadi tentara sewaan dalam korps Marsose atau Barisan. Masih banyak orang Madura yang baik seperti dilakonkan para haji yang giat beribadah dan menuntut ilmu.
Dengan demikian historigrafi haji Madura pada masa lalu ternyata bukanlah sekadar ibadah atau mencari prestis sekembalinya ke tanah air. Para haji masa kini harus belajar pada para haji Madura masa lalu yang gigih memperjuangkan ilmu agama, menangkal stigma negatif serta aktif meningkatkan ilmunya. Lalu, bagaimana dengan haji Madura sekarang?
Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan

Haji dan Pluralitas Persepsi

Oleh Syarif Hidayat Santoso.
Dimuat di Okezone.com. 22 Oktober 2010
DALAM tataran interaksi sosial, haji adalah proses pendekatan beragam persepsi. Kekuatan persepsi etnik dan individu yang beragam dan melekat sebagai memori primordial tiba-tiba berevolusi dalam satu kesatuan memori kolektif haji.
Malcolm X, seorang tokoh Nation of Islam yang sebenarnya rasis terhadap kulit putih (dan mungkin layak disebut rasialis muslim), tiba-tiba mengubah pandangannya terhadap orang kulit putih. Rasisme kaum putih yang begitu arogan di Amerika dan dilawan oleh semangat rasisme yang sama oleh minoritas muslim keturunan Negro pengikut Elijah Muhammad terhalau begitu saja.
Malcolm tiba-tiba menjadi lebih ortodoks setelah melihat dengan kesadaran barunya bahwa Islam bukanlah agama yang ditaati masyarakat kulit berwarna semata namun juga mereka yang kulitnya putih sekalipun. Sebelum berhaji, Malcolm mungkin tak tahu bahwa Islam mewariskan jutaan pengikut berkulit putih di Balkan dan Rusia, bahkan juga di seantero Eropa. Perubahan persepsi tentang kulit putih inilah yang menyebabkan dia harus dikucilkan dari Nation Of Islam.
Kisah menarik lainnya bisa didapat dari jamaah haji Madura yang begitu “takjub” terhadap hitamnya kulit orang negro yang sering secara salah disebut orang badui. Orang Madura mungkin tak paham bahwa negro tak sama dengan badui. Keduanya menggambarkan dua sifat berbeda. Negro adalah entitas biologis dengan kulturnya sendiri, sedang badui adalah entitas kultural dengan unsur biologisnya sendiri.
Tak semua negro berkultur badui sebagaimana tak mesti kultur badui diadopsi oleh negro. Baduiisme justru lahir dalam ekologi Arab dan bukannya Afrika. Tapi, bagi orang Madura awam, dari dulu sampai sekarang, orang badui itu tak lain dan tak bukan adalah kaum kulit hitam yang mereka jumpai di Tanah Suci itu.
Jika Malcolm berubah persepsi setelah naik haji, komunitas Madura sebaliknya, tak mengalami perubahan persepsi. Tak ada yang salah dalam kasus Malcolm maupun Madura. Haji secara filosofis boleh hadir dengan persepsinya masing-masing.
Haji memang melambangkan sebuah kesatuan internasional dari berbagai konfederasi kultur dan memori psikologis. Bahkan, sampai saat ini, memori psikologis jamaah haji Iran terhadap jamaah haji Arab Saudi mungkin sama seperti puluhan tahun lalu, saat mereka (jamaah haji Iran) bentrok dengan kepolisian Saudi Arabia. Sebuah pertikaian bertele-tele dan rumit karena kalau dikaji akan melibatkan banyak pihak, bukan cuma antara Saudi Arabia dan Iran, tapi juga Irak dan konspirasi Amerika.
Alhamdulillah, sentuhan spiritualitas haji sedikit banyak mampu memudarkan semangat konfederatif tribal itu. Entah apa jadinya, kalau semua jamaah haji membawa masing-masing “memori ketidakserasian” antara mereka. Bisa jadi kita akan menyaksikan pertikaian antar para jamaah haji. Jamaah Iran vs Saudi Arabia, jamaah Pakistan vs India, jamaah Indonesia vs Malaysia, jamaah Somalia vs Etiopia, Kurdi vs Turki, Irak vs Amerika dan lainnya.
Keserasian antar jamaah haji boleh jadi merupakan proses penyamaan persepsi meski untuk sementara waktu. Tapi, haji tetaplah sebuah pluralitas persepsi meski dia menyatukan semua manusia, bahkan untuk persepsi paling ganjil sekalipun. Bahkan, kalau seorang ahli menganalisa antusiasme ibadah haji kaum muslim sedunia dari sudut pandang sosiologi sekuler dan menganggap ibadah haji sebagai logika resisten sekulerisme itupun bukanlah sebuah persoalan.
Sekulerisme di dunia Islam, boleh jadi telah menjadikan ibadah haji sebagai pelampiasan eskapis atas kejenuhan duniawi meski tak sepenuhnya tesis ini terbenarkan. Haji tetap tidak sama dengan ritualisme di barat yang merosot tajam karena skeptisisme dan agnotisme. sebaliknya, haji mengandung antitesis bahwa ketidakpraktisan ritual tak selamanya melahirkan agnostisme. Justru ini meneguhkan tentang portabilitas ketuhanan Islam yang tak mengenal diferensiasi ruang dan waktu.
Tapi, Setiap orang tetap boleh membangun antitesis terhadap persepsi publik. Persepsi mistik tentang “balasan” atas perilaku selama di tanah air atau kejadian-kejadian irasional yang sulit dinalar adalah sekian ragam perspesi itu sendiri. Hal ini sekali lagi bukan sesuatu yang ganjil dalam keberagamaan kaum muslim.
Dalam keyakinan teologis kaum muslim selalu ada konsep “kalau Allah berkehendak maka terjadilah’. Persepsi seganjil apapun (termasuk logika kun fayakun) bukanlah kedangkalan teleologis semata tapi dia hadir dalam konsep mistik dan kesadaran sejarah sekaligus . Artinya, irasionalitas bukan sesuatu yang remeh dalam kesadaran empiris kaum muslim. Pemetaan fase kehidupan manusia ala Auguste Comte tentang periode teologis, metafisik kemudian positif tak sesuai jika diterapkan terhadap kaum muslim, meski rasionalitas historis tetap harus disertakan.
Tanah Suci adalah tanah yang berkah, tapi secara historis keberkahan itu tetaplah harus mengacu kepada kerja keras untuk mewujudkan keberkahan secara positifis dan rasional.
Bukankah kakbah pernah rusak karena serangan manjanik (pelontar batu) pada masa Yazid, juga pencurian hajar aswad oleh sekte Qaramithah di masa Fatimiyah atau di era modern abad 20 adalah pendudukan Masjidil Haram pada insiden Imam Mahdi 1 Muharam 1400 hijriyah, juga bentrokan jamaah haji Iran dengan pasukan Saudi Arabia tahun 1986 adalah peneguhan persepsi bahwa keberkahan Tanah Suci justru tergantung kepada perilaku kaum muslim sendiri.
Berkah yang lebih merupakan keagungan spiritual karunia Tuhan harus dipersepsikan juga sebagai kreatifitas untuk menghijrahkan keberagamaan yang lebih empiris. Kaum muslim yang berhaji boleh hadir dengan persepsinya masing-masing tapi tetap harus mengacu kepada kesadaran sejarah untuk menyejarahkan idealitas Islam.

Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ.

Haji, Periferalisme & Orientalisme

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Okezone.com 27 Oktober 2010

MENARIK sekali laporan situs berita okezone tanggal 22 Oktober 2010 dengan judul “Indonesia Paling Sopan, Turki Agak Nakal”. Dalam laporan itu diceritakan pendapat seorang jamaah haji asal Maroko, Abdul Ghani Bin Muhammad yang mengatakan bahwa jamaah haji Indonesia relatif lebih baik dari jamaah haji negara lain (termasuk di antaranya negara-negara yang digolongkan Islami).
Menurut Abdul Ghani, jamaah haji Indonesia memiliki aktiva (kelebihan plus) dalam hal taddub (tatakrama) serta ritualisme yang tidak ghuluw (berlebihan) ketimbang jamaah haji asal Pakistan atau Afghanistan, serta relatif lebih disiplin dari jamaah haji Turki.
Pendapat Abdul Ghani ini menarik karena sebenarnya pendapat ini bukan semata opini yang simetris dengan pengalaman inderawi. Abdul Ghani seakan membantah bahwa jamaah yang posisi negaranya dekat dengan Tanah Suci lebih baik dari mereka yang terpisahkan ribuan kilometer.
Sadarkah kita kalau pendapat Abdul Ghani di atas sebenarnya sebuah antitesis terhadap fakta-fakta keilmuan yang sering meminorkan realitas muslim nusantara. Dalam langgam keilmuan sering muncul persepsi bahwa ritual dan Islamic understanding kaum muslim Indonesia dan bagian-bagian periferal lainnya di dunia Islam adalah nominal semata. Ini merupakan kosmologi pemahaman yang dibentuk orientalisme dan bukan soal empirisme semata. Sejak lama, keberagamaan di negeri ini dituding tak sahih, irrasional, dan tak sensitif.
Pendapat bahwa Islam Indonesia merupakan Islam nominal yang sinkretis, bid’ah dan khurafat merupakan pendapat para orientalis. London, Van Leur, dan Winstead berpendapat bahwa Islam nusantara hanyalah lapisan kulit tipis yang tidak memiliki pengaruh terhadap kultur massif masyarakat muslim akibat jauhnya jarak geografis dari pusat otoritasnya di Timur Tengah (Azyumardi Azra:1992).
Dalam pemahaman mereka Islam otentik hanyalah yang dipraktekkan orang-orang yang hidup dalam ruang ekologi Timur Tengah dan bukan bagian periferal yang jauh. Asumsi ini seakan memojokkan keberagamaan kaum muslim Indonesia sebagai Islam pinggiran yang bukan mainstream.
Winstead sendiri mengatakan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang bersimbiosis dengan Hindu Budha dan karenanya unislamic. Bahkan, Anthony Reid setuju bahwa proses Islamisasi Indonesia masa lalu bukanlah proses konversi tapi merupakan adhesi yaitu terjadinya pergantian agama Hindu Budha menjadi Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keberagamaan Hindu Budhanya sendiri.
Kalau kaum puritan menyebut istilah iltibas (sinkretisme) yang sering ditujukan pada kalangan muslim tradisionalis maka istilah itu sebenarnya mirip dengan istilah sintesa mistik yang dikenalkan M.C. Ricklef. Otentisitas Islam pribumi yang dipersoalkan kajian orientalis ini biasanya ditabrakkan dengan fenomena Wahabiisme abad 19 di Minangkabau yang beroposisi terhadap Islam domestik (Nikki R.Keddie:1987).

Pendapat yang suka meremehkan peranan Islam dalam transformasi peradaban nusantara tak lain dan tak bukan juga adalah pendapat Snouck Hurgronje serta Thomas W. Arnold, barisan orientalis yang “manis-manis sepet” karena terkadang sinis terkadang obyektif dalam melihat superioritas Islam di pentas tamaddun
dunia.

Ingat baik-baik pendapat Thomas W. Arnold yang mengatakan bahwa Islam Asia Tenggara adalah Islam yang the least arabicized. Arnold meragukan keaslian Islam nusantara karena sedikit sekali pengaruh Arab di negeri ini. Hal ini pula yang terlontar dalam antropologi Islamnya Hurgronje. Hurgronje bahkan melawan konsep bahwa hukum adat sekaligus memuat hukum Islam.
Sebagai Islamolog, Hurgronje justru tak bisa memahami bahwa al urf (adat kebiasaan publik) diakui dalam hukum Islam mazhab Syafi’i yang dianut masyarakat muslim nusantara dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip pokok ajaran Islam.
Dalam Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekkah), Snouck memandang minor jamaah haji Nusantara selama periode penelitiannya di Makkah. Lucunya, Snouck juga menyindir ketidakserasian lidah ulama besar Tanara Banten, Syekh Nawawi Al Bantani dengan bahasa Arab asli. Snouck mengejek kentalnya dialek Jawa dalam pelafalan Bahasa Arab dan Quran dari Syekh Nawawi Al Bantani. Sebuah pandangan yang emosional, bertendensi sentimen psikologis dan tentu saja tak obyektif.
Kenapa Snouck hanya merepotkan diri dengan aksen lidah Syekh Nawawi dan bukan pada keilmuan Syekh Nawawi yang menggurita sampai-sampai dijuluki sebagai Imamul Ilm dan Sayyidul Ulamail Hijaz.
Indonesia memang jauh dari Makkah, tapi belum tentu kualitas pemahaman kaum muslim Indonesia lebih jelek dari kaum muslim Timur Tengah. Sejak lama tradisi keilmuan Islam bersemi di negeri ini. Telah lahir pula sejumlah ulama nusantara berkaliber internasional bahkan, pemahaman kaum negeri ini berkait erat dengan kontekstualitas budaya dan tidak skripturalis.
Pemahaman kaum beragama negeri ini dekat dengan pendekatan emosi karena berlandaskan sufisme. Ritual Sufisme negeri inipun berada pada tataran moderat yang tidak ekstrim seperti ritual kaum sufi Asia Barat maupun Iran.
Setidaknya ini membuktikan bahwa jarak bukanlah parameter untuk mendudukkan keberagamaan sebuah bangsa sebagai otentik atau tidak. Seperti dikatakan John E. Farley dalam Majority and Minority Relations, peranan sebuah kelompok tidak bisa dilihat dari aspek kuantitasnya semata.
Numerik bangsa Arab dan total etnis lain di Timur Tengah seperti Kurdi, Turki dan Persia adalah mayoritas di dunia Islam apalagi kalau ditambah bangsa-bangsa muslim di Asia Barat dan Asia Tengah sebagai geokultural terdekat, jumlah mereka hampir tiga perempat populasi muslim sedunia. Namun secara sosiologis jumlah ini sebenarnya kecil kalau mereka tak mampu memerankan diri sebagai unit relasi sosial yang baik di antara mereka sendiri sebagai pencerminan ajaran Islam yang anggun, eksotik, dan lembut.
Pakistan, Afghanistan, Turki adalah juga negeri sunni tradisionalis sama seperti Indonesia. Kondisi ketiga negeri itu nyaris mirip dengan negara kita. Miskin, terbelakang, penuh korupsi, rentan perselisihan serta terancam sekulerisme. Namun, sebagaimana dikatakan Abdul Ghani, paras karas yang tidak anggun dari keberagamaan muslim Asia Barat masih lebih dominan dan kalah dengan kehalusan eskotik jamaah haji Indonesia.
Padahal, sufisme juga bagian integral dari masyarakat muslim Asia Barat, tapi gurita konflik dan perselisihan sosial di negeri-negeri itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan sentuhan keras terhadap mental dan psikis mereka. Namun kita harus waspada. Kalau kita terus terjerumus kedalam hipokrasi dalam hidup, bukan tidak mungkin bakal terjadi evolusi mental yang menggerus tatakrama itu. Boleh jadi, di masa depan, jamaah haji kita takkan lagi dinilai sebagai jamaah tertib dan sopan.
Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Pemerhati Sosial Keagamaan. Berdomisili di Sumenep

Kakbah versus Hollywood, Manhattan & Paris

Oleh: Syarif Hidayat Santoso. dimuat di Okezone.com 1 November 2010

KITA mengetahui, sebelum melakukan invasi ke Makkah untuk meruntuhkan kakbah, Abrahah membangun sebuah gereja di Yaman guna mereduksi keagungan kakbah yang menjadi trend setter keberagamaan populer bangsa Arab.

Abrahah sendiri adalah tokoh politik sekaligus komandan militer tentara Kristen Ethiopia yang hadir di Yaman atas restu Bizantium. Kakbah sebagai poros penyembahan bangsa Arab dalam ritual kuno, haji, diinterupsi dengan pendirian Al Qulles, gereja suci nan megah, yang didirikan Abrahah untuk membendung kepopuleran kakbah.

Bagi bangsa Arab, Al Qulles adalah lambang kesombongan dan interupsi kolonialis terhadap nasionalisme sekaligus religiositas Arab. Yaman, bumi di mana Al Qulles dibangun merupakan area konflik agama-agama samawi plus Bizantium (Romawi Timur) versus Persia.

Sejak lama, Yahudi dan Kristen dominan di daerah ini. Pada suatu masa, raja Arab Himyar yang menguasai Yaman terprovokasi oleh orang-orang Yahudi di negeri itu untuk memaksa komunitas Kristen memeluk Yahudi. Raja Yaman itu menawarkan opsi ala raja Ferdinand-Isabella, yaitu masuk Yahudi atau dibakar dalam parit api. Dalam literasi Alquran hal ini dijelaskan dalam kisah Ashabul Ukhdur (para pembuat parit berapi) dalam surat Al Buruuj ayat 4-8.

Perlu diberi catatan, kalaulah benar Surat Buruuj 4-8 merujuk kepada komunitas Kristen Yaman, maka kekristenan Yaman sudah pasti merupakan Kekristenan yang tidak sama dengan kekristenan Bizantium. Pasalnya, teks lengkap Al Buruuj ayat 7-8 menyebut kaum Kristen Yaman sebagai mukminin. Sudah pasti komunitas Kristen ini bukan komunitas trinitas sebagaimana yang dianut Romawi.

Boleh jadi, kebencian Yahudi terhadap Kristen bukan hanya dimotivasi pengusiran Bizantium terhadap kaum Yahudi di Yerussalem sejak masa Titus. Tapi juga ketidaksukaan teologis Yahudi terhadap kristen. Boleh jadi pula, kekristenan Etiopia yang mendominasi Yaman bertabrakan dengan kekristenan pribumi. Pasalnya, pada masa kemudian, ketika Abrahah tewas pascaserangan ababil di Makkah, kaum Ethiopia ini juga diusir oleh bangsa Yaman atas dukungan Persia setelah lobi pemimpin Kristen Yaman saat itu, Saif Bin Zi Yazan terhadap Bizantium agar mengintervensi Ethiopia di Yaman mengalami kegagalan.

Meskipun, Ethiopia hanyalah satelit politik Bizantium, namun kaisar Yustinianus tak dapat berbuat lebih jauh untuk menarik mundur pasukan Ethiopia dari Yaman. Langkah diam Bizantium inilah yang memicu Saif bin Zi Yazan untuk meminta bantuan militer Persia. Sebuah pilihan yang tepat, karena opsi politik militer saat itu hanya dua saja. Meminta bantuan militer Bizantium atau Persia dan tak ada opsi ketiga.

Alur peristiwa politik di atas menunjukkan bahwa background Al Qulles bukan saja cerita tentang proyek perebutan ruang religiositas, tapi juga perebutan ruang politik yang diperankan dua adidaya, Romawi Timur (Bizantium) dengan Persia. Lanskap politik dwipolar ini masih berperan strategis sampai berkembangnya risalah Muhammad SAW.

Abrahah merupakan salah satu tokoh penting dalam insiden perebutan kekuasaan politik-teologis di Yaman. Abrahah pulalah yang kemudian membangun Al Qulles untuk menandingi kakbah di Mekkah.

Namun, usaha Abrahah sia-sia. Keagungan kakbah, bangunan antik yang sebenarnya tak lebih cemerlang dari Al Qulles tak tertandingi sama sekali. Kakbah tetap menjadi supremasi superior bangsa Arab. Lebih menyedihkan lagi, Abrahah tewas saat menyerang kakbah, setelah armada perangnya dihancurkan burung ababil.

Al Qulles mempertautkan agama-agama besar dunia dalam jalinan sejarah yang rumit. Seandainya Zu Nuwas, raja Arab Himyar yang pro Yahudi tidak membantai puluhan ribu orang Nasrani Yaman, maka Al Qulles takkan pernah ada. Bahkan historiografi Islampun takkan pernah mencatat Abrahah. Karena diktatorianisme beragama Zu Nuwaslah, muncullah intervensi kaum nasrani Abbesinia (Ethiopia) yang didukung Bizantium.

Menariknya, kepedulian Bizantium meskipun hanya mengirimkan kapal pengangkut bagi serdadu Etiopia justru dilakukan untuk membantu komunitas Kristen yang bukan penganut trinitas. Sebagian sejarawan mencurigai, motif Bizantium hanyalah kolonialisasi semata dengan memanfaatkan kekisruhan politik di Yaman.

Al Qulles tidak saja menunjukkan permusuhan rumit segitiga antara Yahudi, Kristen dan tradisi Abrahamaic Arabia dalam bingkai politik internasional. Tentu saja, Islam dalam pengertian agama yang diwahyukan kepada Muhammad tidak terlibat dalam konflik prestisius ini. Insiden Al Qulles hanya menunjukkan sikap antitesis terhadap realitas kesejarahan Ibrahim masa lalu. Apakah Abrahah yang Kristen dan sudah pasti menghormati Ibrahim, tak menyadari bahwa kakbah dalam ruang sejarah tradisi Semit dibangun oleh Ibrahim.

Suasana haji kita pada masa kini, sebenarnya mirip dengan kondisi ibadah haji ketika kakbah dan tataran lebih luas adalah Makkah diinterupsi Al Qulles. Bahkan, kalau acuannya adalah kondisi politik internasional maka lebih luas lagi cakupannya. Dunia kontemporer bukan lagi didominasi perebutan kekuatan dwipolar seperti Sovyet versus Amerika, namun telah membentuk formasi multipolar.

Ada banyak kiblat politik hari ini dan kaum muslim dapat memilih opsi kesekian untuk menentukan arah kiblatnya. Makkah masa kini tak lagi superior kecuali hanya pada dimensi spiritualnya semata. Al Qulles-Al Qulles baru yang megah dan lebih memikat banyak berdiri dengan gagah menginterupsi superioritas Makkah. Manhattan, Paris, Hollywood dan banyak lagi ikon megapolitan dunia yang mendudukkan Makkah di ambang inferioritas. Makkah tak lagi menjadi sentral segala-galanya bagi kaum muslim.

Banyak hidup kaum muslim sebenarnya diorientasikan oleh Al Qulles modern. Hollywood, Manhattan, dan Paris adalah Al Qulles-Al Qulles kontemporer yang secara progresif mereduksi Makkah dan kakbah pada tataran yang tidak prestisius. Al Qulles-Al Qulles itu membagi afiliasi kiblat kaum muslim untuk tidak terfokus kepada kakbah semata. Sebagaimana Al Qulles Yaman yang dibangun Abrahah yang besar dalam tradisi agama samawi. Al Qulles-Al Qulles kontemporer juga dibangun oleh barat modern yang mengenal Abraham sebagai bapak suci para nabi-nabi Semit, walaupun tak sepenuhnya barat modern itu kristen yang sepenuhnya fundamental.

Kita boleh saja menuduh barat modern adalah gabungan membingungkan dari sekulerisme, ateisme, atau agnotisme dan tak lagi kristen religius. Hal seperti itupun sebenarnya sama dengan keberagamaan sebagian kita, kaum muslim kontemporer yang terbelit dualisme dari segi afiliasi hidup.

Mungkin banyak di antara kita menjadikan Paris sebagai kiblat Mode atau Hollywood sebagai kiblat berperilaku, mungkin juga gaya berpikir ala Manhattan yang kapitalis dalam relasi kemanusiaan. Kita mengaku bermakmum kepada Ibrahim tapi sekaligus juga bermakmum kepada orientasi duniawi. Keberagamaan sebagian kita adalah keberagamaan separatis.

Perjalanan haji kita hari ini mungkin semu dan membangun simulakrum sintetis yang membingungkan. Lihatlah, sebagian para haji yang tak kreatif untuk membendung perpecahan afiliasi beragam kiblat dalam alur hidupnya untuk selalu selaras dengan kakbah. Kita hanya menjadikan kakbah sebagai pusat ketertujuan ibadah dan bukan aplikasi hidup.

Teritorial kakbah tak mampu menjadi magnet signifikan selain hanya sebagai kiblat salat. Hedonisme, materialisme, dan egoisme adalah karakter kejiwaan primordial yang sebenarnya telah menjadikan glamoritas Paris, kapitalisme Manhattan, dan materialisme Hollywood sebagai kiblat pengganti kakbah.

Kita hanya bersatu dengan kakbah ketika salat dan haji, namun tidak setelah itu. Bahkan, pada saat melakukan hajipun, hedonisme yang glamor itu ada. Kita lupa bahwa haji mabrur memerlukan sinergitas antar berbagai hal dalam hidup. Karena itu, haji yang mabrur sebenarnya ketika terdapat kesatuan segenap afiliasi moralitas, teologi dan perilaku hidup kepada kakbah semata.

Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Pemerhati Sosial Keagamaan. Berdomisili di Sumenep