Dimuat di Harian Bhirawa 9 Februari 2011
Merespons Hasil muswil PPP Jawa Timur
Oleh: Syarif Hidayat Santoso.
Banyak partai Islam mentahbiskan diri sebagai partai terbuka yang menerima caleg dan kader non muslim untuk berperan lebih dalam. Namun PPP lebih memilih untuk tetap menjadi partai Islam konservatif meski inklusifisme dibuka lebar. PPP enggan untuk mengikuti langkah PAN, PKB dan PKS yang memilih tidak eksklusif. PPP juga dihadapkan pada kenyataan eks dari unsur-unsurnya yang tak lagi menyalurkan aspirasinya pada parpol berlambang Ka’bah itu. Setelah ditinggalkan NU, dua unsur PPP lainnya yaitu SI dan Parmusi juga memilih untuk tak berafiliasi dengan partai manapun.
Ketika dideklarasikan Januari 1973, PPP merupakan partai yang merangkum hampir segenap segmen pemilih muslim. Elemen modernis dan perkotaan terwakili dalam Parmusi dan Syarikat Islam, sementara elemen tradisional direpresentasikan NU dan Perti. Walhasil, pada pemilu 1977 dan 1982, dukungan PPP relatif merata di kantong-kantong Islam. Di pedesaan, PPP disuplai NU, sementara di perkotaan PPP disupport unsur Islam modernis. Meski tidak dominan, PPP tetap partai yang disegani karena massanya yang besar di basis-basis Islam sejak Aceh, Sumbar, Jakarta, Jatim sampai Kalsel.
Namun, nostalgia PPP nampaknya berakhir ketika era reformasi digaungkan. Kaum Nahdliyyin banyak mendukung PKB. Sementara elemen perkotaan mengalihkan suaranya kepada PAN dan PKS. Pemilu 2009 lalu, menunjukkan bahwa dinamika PPP malah semakin mengenaskan. Massa Islam mengambangpun lebih suka pada partai nasionalis terutama Demokrat. Perolehan kursi PPP menurun pada batas paling rendah sejak Pemilu 1977.
Pada akhir orde baru, dukungan PPP bertumpu kepada pemilih konservatif, pemilih pemula serta pemilih yang bersimpati kepada PPP. Pemilu 1997 menunjukkan tingkat graduasi luar biasa dengan berbondong-bondongnya massa muda pada setiap kampanye PPP, meskipun tidak jelas apakah kaum muda itu merupakan murni supporter PPP ataukah efek euforia Mega Bintang. Tendensi ini pupus habis ketika tiga pemilu berturut-turut kemudian, PPP hampir kering pendukung muda. Dukungan PPP hanya datang dari massa konservatif.
Modernisasi PPP
Modernisasi PPP mutlak diperlukan jika PPP tidak ingin ketinggalan kereta. Terdapat tiga hal yang dapat dilakukan PPP. Pertama, kaderisasi PPP tidak sepatutnya lagi menggunakan label unsur organisasi ala pemilu 1977. Sampai kini, PPP masih bangga dengan klaim sebagai partai umat Islam karena didirikan berbagai elemen Islam.
Pemilahan berdasar unsur harus diakhiri, bukan saja karena rentan konflik tapi juga karena pencitraan defensif seperti ini tidak akan berguna ketika generasi muda modern tidak lagi melihat afiliasi primordial sebagai titik tumpu politiknya. Hal ini juga akan mengerem efek kekecewaan unsur-unsur dalam PPP yang sering mengancam akan mendirikan partai sendiri. Kader PPP masa depan harus dibesarkan oleh PPP sendiri dan bukannya oleh NU, SI, MI ataupun Perti. Banyak tokoh elit PPP sebenarnya dibesarkan oleh PPP dan bukan lagi oleh Ormas Islam.
Kedua, PPP harus memperkuat basis kulturnya agar tidak terpaku kepada konstituen pesantren semata. Kepemimpinan kharismatik harus ditinggalkan dengan memperbanyak kader muda yang memiliki kompetensi tinggi. Contohnya, PPP dapat mendayagunakan eksponen pesantren yang telah melebur kedalam unit-unit pergerakan modern. Bukankah banyak alumni pesantren yang berjuang melalui LSM, organisasi buruh serta jaringan studi ilmiah, serta wartawan. PPP harus mau menggaet kelompok yang di mata PPP kelihatannya nyeleneh ini. Basis kultur non santri dapat pula menyebabkan mengalirnya dukungan PPP dari kantong-kantong kultur abangan
Ketiga, PPP perlu membesarkan background kampus. Kader intelektual absolut diperlukan karena secara lihai dapat menjadi lokomotif dukungan domino. PPP telah berinovasi dengan mendirikan Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GMII) sebagai basis dasar dukungan kampus kedepan. Dukungan Kampus akan mempermudah kaderisasi intelektual di masa depan, apalagi seiring identifikasi dan labeling dari partai Islam lain yang sering mengklaim sebagai partai anak muda Islam kampus.
Intelektual muda kritis merupakan ikon bagi generasi muda modern. Dukungan kampuspun juga merupakan syarat kalau PPP tetap ingin bersikap konservatif tanpa inklusivisme. Ini mutlak diperlukan mengingat PPP sekarang tidaklah seperti PPP tahun 1977 yang kaya dengan publik figur. Saat itu PPP surplus publik figur mulai dari mantan tokoh Masyumi, Kyai sepuh NU sampai Rhoma Irama dan Nurcholis Majid. Meski, akhir-akhir ini terdapat fenomena kyai NU kembali ke PPP seperti pada deklarasi Lirboyo. Namun, Jika kharismatisme harus ditanggalkan, maka dunia intelektuallah yang paling kompeten untuk menggantikannya.
Dengan cara itu, PPP mungkin bisa mengklaim sebagai partai plural-modern yang tidak terpaku kepada afiliasi tradisional semata. PPP bisa menjadi pesona bagi generasi muda Islam dalam format modern dan fleksibel serta akseptabilitasnya di semua lini, perkotaan dan pedesaan. *
Penulis adalah Alumni Hubungan Internasional FISIP UNEJ