Ramadhan, Iqra’ dan Takwa Transformatif

Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Dimuat di Rubrik Utan Kayu Jawa Pos 7 November 2004

Saya melihat ada dua golongan orang dalam memaknai ramadhan. Pertama, mereka yang memahami ramadhan sebatas rutinitas dalam siklus periodik keagamaan. Golongan ini melaksanakan puasa serta dimensi ritual ramadhan lainnya, tak lebih dari sebuah selebrasi glamor. Mereka tak berikhtiar untuk mengadopsi semangat emansipasipatoris dan liberatif Quran.
Kedua, mereka yang berupaya mencapai makrifat ramadan tertinggi, dengan ibadah maksimal. Golongan kedua ini terpukau dengan bonus surga dan ganjaran berlipat. Identifikasi kelompok ini terbaca dengan ramainya salat berjamaah lima waktu pada bulan ramadan saja, iktikaf di masjid, dan besarnya nominal zakat yang dikeluarkan. Namun, tanpa membudayakan berpikir reflektif-kondisional.
Itulah realisasi Islam yang paling diminati publik.
Lalu, adakah golongan alternatif?. Mereka adalah golongan misioner yang mampu ke puncak totalitas masyarakat serta membawa ramadan kepada mizannya yang hakiki. Kaum ketiga inilah sebenarnya yang, menurut saya, dimaksudkan Alquran sebagai komunitas takwa dalam kesejarahan ramadan.
Takwa memang gol hakiki ramadan. Namun, pemaknaan takwa ini seakan tercerabut dari proses berpikir komprehensif. Ini bukan saja memandulkan agama dari hulu ke hilir, tapi bahkan tidak berperan sebagai irigasi yang mengairi rasa keberagamaan dalam kemarau spiritualitas.
Harap diingat, puasa selalu dikaitkan dengan umat masa lalu. Lahirnya agama Islam adalah keberlanjutan umat samawi pra-Islam. Dengan kata lain takwa sebagai tujuan puasa adalah proses yang endless (tiada akhir) sampai kiamat tiba.
Ramadan juga ditandai momen awal turunnya Alquran. Iqra’ sebagai manifestasi awal dari wahyu memberikan makna bahwa pembacaan terhadap realitas adalah etika dasar dalam memaknai teks-teks wahyu. Surat Al Alaq 1-5 memberikan sejumlah poin penting. Fenomena iqra’ ini bisa untuk memicu perubahan fundamental dalam religiusitas massif.
Kalimat iqra’ bismi rabbikal ladzii khalaq, bacalah dengan nama Tuhanmu (Muhammad) yang menciptakan (QS 96:1), bukannya iqra’ bismillahil ladzii khalaq, bacalah dengan nama Allah yang menciptakan, memberi isyarat revolusioner bahwa transformasi beragama Rasulullah adalah antitesis yang sama sekali lain terhadap religiusitas status quo. Kenapa kalimat itu harus berbunyi dengan nama Tuhanmu dan bukannya dengan nama Allah saja?.
Haruslah kita sadari, bahwa ketika wahyu pertama turun, agama samawi sudah mengakar dalam basis umat rasulullah sendiri. Kata Allah atau Yahweh dalam lafal Ibrani sudah dikenal, begitu juga lafal Allah bagi kaum nasrani. Bahkan paganis Mekkah penyembah Latta dan Uzzapun juga mengenal Allah, karena bagaimanapun mereka adalah generasi yang pernah dibumikan syariat Ibrahim dan Ismail.
Lafal rabbika seakan memeri poin kreatif bahwa agama yang bernama Islam adalah reparasi ketuhanan untuk kembali ke fitrah tauhid, setelah dininabobokan kemusyrikan. Iqra’ adalah penemuan kembali (rediscovery) terhadap kebenaran yang hilang.
Sebagai wahyu pertama, iqra’ kemudian diakhiri dengan kalimat, Allamal Insaana maa lam ya’lam, Allah mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya (QS 96:5). Fenomena iqra’ ini menjadi pernyataan teologis-argumentatif, Tuhan sebagai guru manusia, sebagaimana Tuhan mengajar Adam tentang nama-nama (QS 2:31), adalah Tuhan yang Haq dan tunggal dalam mengisi rapor keimanan setiap manusia. Hal ini memberi makna bahwa iqra’ sebagai pembacaan hakikat alam semesta, tidak memiliki perbatasan tertentu. Sebagai sentral kebenaran, absolusitas dalam memaknai religiusitas hanyalah hak Allah semata. Manusia hanya berupaya menyelaraskannya dalam ikhtiar maksimal sesuai apa yang dijarkan Allah dalam kitab suci.
Jika demikian, puasa adalah wisata religius yang mengkombinasikan spiritualitas (takwa sebagai tujuan) plus intelektualitas (Iqra’ sebagai pembacaan atas dan fenomena sekitar) sekaligus. Seorang muslim yang memiliki parameter, bahwa takwa adalah proses tanpa akhir, akan tersu berinovasi melawan rezim kemandekan berpikir dalam beragama. Takwa tidak akan dimaknai pada garis finis tertentu. Tapi, akan terus berposisi sebagai titik awal keberagamaan, dengan terus menerus menggunakan iqra’ sebagai sandaran nalar berpikir guna mencapai tujuan akhir, keharmonisan alam semesta (rahmatan lil alamin).
Islam bukanlah harmoni yang terlepas dari sejarah masa lalu. Naik tenggelamnya bangsa-bangsa lampau adalah juga keterpurukan kemanusiaan yang tidak mampu mengakselerasikan diri dengan getaran-getaran la’allakum tattaquun” I’tibar Alquran memberikan nuansa paling bernilai, bahwa romantika beragama selalu berada dalam siklus yang tanpa henti berkonfrontasi dengan kekufuran. Disini, totaliarianisme dalam tafsir beragama merupakan bagian dari sistem kufur. Mereka terllau jauh mengolonisasi pemikiran manusia dengan “ilusi” sorga di langit tapi justru melanggengkan annar (neraka) di bumi.
Ramadan adalah sekolah kemanusiaan dengan latihan aktualisasi sebulan penuh. Menilai diri menjadi takwa pada bulan ramadan hanyalah reduksi keimanan hidup (living faith) semata. Urgensi ramadan justru terletak dari neraca gerakan individu dalam transformasi-liberasi masyarakat dari kejumudan pasca ramadan. Kemudian mampu mengintervensi dinamika publik ke gerbang keselamatan dan juga salam (perdamaian).
Dengan demikian ramadan tidak boleh terpenjara dalam potret subjektivitas beragama yang tidak revolusioner. Ramadan juga harus mampu memprovokasi otentisitas beragama yang didukung nalar kritis dengan melihat masyarakat yang harus diselamatkan dalam biduk beragama individu muslim. Dzikrullah dan juga pemberdayaan potensi akal merupakan inti takwa. Maka, jika terjadi simbiosis antar keduanya bisa menjadi pakem ke arah unity of humankind (kesatuan kemanusiaan), karya tertinggi dalam realisasi tauhid Allah di muka bumi.
Pembebasan masyarakat selalu dimulai dari kepedulian diri terhadap kondisi masyarakat secara reflektif. Proses alienasi positif-kreatif (iktikaf) pernah dialami para rasul besar sebelum menapaki pencerahan, berupa turunnya wahyu yang membebaskan.
Alienasi (iktikaf) Rasulullah di gua Hira’, Musa di Tursina, juga Yesus di Seir adalah sekelumit narasi romantis dari kisah-kisah nabi yang berusaha keluar dari atmosfer materialisme, jahiliyaisme, serta perbudakan umat sendiri terhadap elemen non jahiliyah (syirik). Alquran sebagai pedoman kaum muslim, takwa sebagai tujuan, iqra’ sebagai nalar berpikir, juga ramadan sebagai latihan kesinambungan sejarah merupakan konstruksi primer terpadu bagi munculnya inisiatif pembebasan masyarakat.
Takwa adalah inovasi kreatif sebagai medium menuju masyarakat baru. Masyarakat yang tidak terbungkus daya kritisnya dengan teks-teks agama yang memfosil. Sekali lagi, ramadan adalah ikhtiar muslim dalam skala massal guna memproteksi diri dari paranoid kekufuran menuju fitrah humanistik Idul Fitri.
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNEJ dan Mantan Kabid Dakwah PMII FISIP UNEJ.

Tinggalkan komentar