Ulamadan Umara Piawai Menulis

Oleh: Syarif H. Santoso

Dimuat di Rubrik horizon Radar Surabaya 27 April 2014

             Indonesia modern ternyata memiliki almarhumK.H Sahal Mahfudh yang baru wafat sebagai penulis kitab legendaris. Karya kyai Sahal begitu mendunia danensiklopedis. Karyanya, Thariqatul Husul menjadi master dalam kajian ushulfikih kontemporer. Kitab tersebut juga dikaji di Universitas Al Quran Sudan.Sebagai ulama, Kyai Sahal mencontohkan bagaimana wawasan keagamaan harusbersilsilah dan tetap ditransformasi meski Islam telah kaya dengan kitab kuning dan buku. Sementara SBYtiba-tiba tampil dengan buku “Selalu Ada Pilihan”. Terlepas kontroversipencitraan, propaganda informasi ataupun unsur politik Pemilu, buku karanganSBY layak diapreasiasi. Sebagai umara, SBY telah mencontohkan bagaimana seorangpemimpin meninggalkan jejak dalam sebuah buku.

Ulama dan Umara kita sebenarnya  memiliki satu kelebihan yaitu menulis. Inidicontohkan secara mikroskopis di Indonesia. Dulu, Sultan Agung terkenal denganSerat Gending, sebagaimana Sunan Kalijaga mengarang Suluk Linglung. Kedua kitabtersebut berbicara dalam tema berbeda. Serat Gending tentang filsafat kehidupantermasuk politik, sedang Suluk Linglung tentang cipta rasa beragama orangsaleh.

Bolehdikata telah terjadi harmonisasi antara para ulama dan umara di negeri ini.Terkadang keduanya menempati posisi berbeda dalam menulis kitab. Para ulamamenulis kitab ilmu agama sementara para raja mengarang kitab tatanegara atauhukum negara. Namun adapula raja atau ulama yang menyatukan tema tatanegara danagama dalam satu kitab. Contohnya Bustanus Salatin karya Al Raniri yangterkandung didalamnya agama, tatanegara, hukum dan sejarah, juga PangeranDiponegoro dengan Babab Diponegoronya yang mengungkapkan kepada dunia tentangpertautan Islam dan khazanah politik Jawa.

Karya para ulama dan umara  saling melengkapi dalam peradabannusantara,  meski pernah terjadipertentangan politik ulama versus umara. Contohnya, Sultan Agung yangbermusuhan dengan Giri Kedaton. Pandangan dunia Sultan Agung sejalan dengan idepara Wali. Serat Ageng Sultan Agung ternyata justru melengkapi sisi politikyang tak tercantum dalam Serat Asrar karya Sunan Giri Prapen.

Indonesiamodern mencontohkan Soekarno dan Gus Dur sebagai figur piawai penulis. Keduanyatampil dengan identitas masing-masing. Jika pada Nusantara klasik, para ulamadan umara bisa berbeda dalam politik dan seirama dalam gagasan, pada Indonesiamodern justru sebaliknya, berbeda dalam gagasan dan sejalan dalam politik.Soekarno memiliki pemikiran keislaman sebagai efek persentuhannya dengan tokohIslam modernis Ahmad Hassan. Karangan Soekarno seperti Nasionalisme, Islamismedan Marxisme menunjukkan apresiasi Bung Karno terhadap Islam. Tapi,keberpihakan Soekarno lebih kuat pada Pan Islamismenya Jamaludin Al Afghani danMuhammad Abduh seperti terbaca dalam Pantja Azimat Revolusi. Hal inimenyebabkan Soekarno tak akur secara gagasan dengan NU. Namun, Soekarno jugapendukung Mustafa Kemal Attaturk yang menyebabkan dia tak akur pula denganIslam modernis. Dalam gagasan, Soekarno memang abai dengan NU namun dalampolitik, NU adalah kawan nyaman pasca tercetuskannya konsep Waliyyul Amri AdDaruri Bissyaukah dan Nasakom.

Berbeda pula dengan Gus Dur. Dalamdiri Gus Dur bersatu unsur ulama dan umara sekaligus ketika Gus Dur menjadipresiden. Karangan-karangan Gus Dur yang dikumpulkan dalam berbagai bukumenunjukkan  persentuhan beragam variansejak Islam Tradisional, modernisme Islam dan juga nasionalisme. Gus Durmengawankan kembali antara Islam tradisional, modernisme Islam dan kebangsaanmelalui kosmopolitanisme tulisan-tulisannya. Buku, ulama dan umara bersatulanggam dalam diri Gus Dur.

Jika para ulama dan umara mampu untuk menulis,kenapa kita tak bersetia hati untuk juga menulis demi eksistensi sebagai rakyatdan umat.

Penulisadalah Alumni Hubungan Internasional FISIP UNEJ

Tinggalkan komentar