Berdialog Dengan Waktu

Dimuat di Duta Masyarakat 07 Januari 2013

 

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

            Kita memasuki tahun baru. Lalu, adakah perbedaan antara waktu baru dan waktu  lama. Waktu adalah sesuatu yang immateri karena tak dapat diraba dan dikenali secara fisik. Namun, waktu menempatkan diri dalam ruang secara mekanis. Dalam materi alam semesta, waktu berjalan dan menempatkan diri. Dalam waktu pulalah manusia sebagai mikrokosmos tumbuh dan bergerak.

            Waktu merupakan konstruk mental dimana koordinasi antara manusia dan ruang terjadi. Waktu menjadi seiring dalam ruang ketika manusia menerjemahkan simbol-simbol terkait yang saling terulang dalam persepsi manusia. Persepsi kosmologislah yang mendefiniskan waktu. Manusia berupaya mencari hubungan antar materi dalam waktu untuk dicerna menjadi perspektif dan kesadaran sejarah. Waktu menjadi penanda obyek-obyek yang bergerak dalam materi.

            Karena waktu, manusia diperdebatkan dalam sejarah. Karena waktu, manusiapun berdebat tentang Tuhan. Jalaludin Rumi bertanya, kenapa manusia menjadi begitu penting padahal Adam diciptakan paling akhir diantara segenap makhluk Allah. Waktu telah mencipta latar evolusi teologis ketika makhluk Tuhan seperti Malaikat, surga, neraka, langit, bumi dan jin dicipta terlebih dulu.

Dalam kosmologi sufi, para makhluk selain manusia dicipta ujung-ujungnya juga untuk memanusiakan manusia. Malaikat dicipta untuk kepentingan manusia sejak membagi rezeki, mencabut nyawa, mendoakan sampai mencatat amal manusia. Syetanpun diciptakan untuk menyeleksi ego kemanusiaan agar teruji dalam sejarah kemanusiaannya. Finalitas Surga dan neraka  ternyata juga demi manusia.

            Dulu, seorang teolog bertanya kepada teolog lainnya, “jika arsy (singgasana Tuhan) merupakan makhluk dan Tuhan bersemayam diatasnya, lalu sebelum terciptanya Arsy, Tuhan bersemayam dimana?”. Sebuah pertanyaan menggelitik namun sangat dialogis dengan waktu. Adanya waktu yang membagi ada dan tiada yang menyebabkan lahirnya pertanyaan itu.

Waktu yang membelah diri menjadi dahulu dan kontemporer ikut berperan dalam ranah kontestasi keotentikan beragama. Karena waktu, Tuhan dipertanyakan oleh orang Yahudi terhadap Muhammad. Karena waktu pula Iblis berdoa kepada Tuhan agar diberi umur panjang. Iblis dipersilahkan untuk mempersepsi waktu semaunya dalam tugas eksklusif, membujuk manusia menjadi pengikut iblis.

            Waktu menjadi begitu elastis dan dilatasis. Ketika Mikraj, Nabi Muhammad mengalami persepsi waktu yang transformatif. Waktu yang dilatasis pulalah yang mampu memprovokasi muslim untuk tetap percaya bahwa Isa dan Khidir masih hidup dalam satu ruang tanpa waktu obyektif. Isa dan Khidir hidup dalam waktu yang sepenuhnya subyektif milik Tuhan. Provokasi tentang waktu hadir karena materi ternyata tak pernah musnah namun selalu bertranformasi menjadi materi lain selama ada energi penggerak.

            Manusia menjadi berarti dalam waktu karena daya gerak (locomotion). Gerak manusia yang melaju tanpa henti menjadi sebab waktu dieja dalam tahun dan tanggal. Namun, para teolog harus memberi titik tekan bahwa waktu setiap saat bisa berhenti dan memulai dalam titik start yang baru. Kiamat adalah pergantian waktu dari waktu dunia yang dialogis menuju waktu akhirat yang monologis. Di akhirat, gerak sejarah makhluk akan menjadi seragam, serasi dan berdasar kehendak Tuhan. Tak ada lagi sejarah dalam waktu akhirat. Manusia hanya bisa mempertanggungjawabkan sejarah dalam genggaman waktu akhirat.

            Waktulah yang menjadi penanda adanya Tuhan. Tanpa adanya waktu, Tuhan takkan pernah dikenali secara kosmologis. Tapi Tuhan tak pernah terikat dengan waktu. Waktu berkedudukan sama dengan manusia. Waktu sepenuhnya makhluk. Justru karena sifat kemakhlukannya, manusia bisa berdialog dengan waktu. Di tengah pusaran waktu, manusia menjelma sebagai entitas yang tak pernah habis. Di hadapan waktu, manusia bisa terkikis habis, namun persepsi manusia abadi terwariskan sepanjang waktu. Waktu takluk dalam persepsi dan estimasi manusia

            Tahun baru adalah gerak manusia dalam waktu. Manusia mempersepsikan dirinya berada pada tahun 2013 meski waktu telah berjalan belasan milyar tahun menurut ukuran astronomi. Manusia pulalah yang menandai materi sejarah dalam guliran waktu. Manusiapun yang secara simplistis menyebut Tuhan berada bersama dirinya dalam doa-doa sepanjang waktu. Meski, Tuhan tak pernah terikat dan berada dalam tahun 2013, namun manusia berdoa “Ya Tuhan sertailah aku selama tahun 2013 ini”. Sebuah doa yang dialogis. Tuhan memang tak pernah masuk dalam pusaran waktu, karena waktu adalah ciptaan Tuhan. Justru, doa adalah subyektifikasi manusia tentang Tuhan. Dalam waktu, Tuhan dipersonifikasi secara sepihak. Inilah dialogisme waktu. Adanya waktu membuat kita enjoy dalam mempersepsi Tuhan sesuai keterbatasan kita. Adanya waktu menyebabkan Tuhan yang tak terbatas bisa dihadirkan dalam personifikasi yang terbatas sesuai ukuran dan persepsi manusia.

            Penulis adalah alumnus Fisip Universitas Jember.

Tinggalkan komentar