Mendamaikan Melayu

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Dimuat di Radar Surabaya 23 Desember 2012

Melayu bukanlah entitas terpecah meski komunitas Melayu tersebar dalam bagian besar di Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunai Darussalam dan Singapura. Komunitas diaspora Melayu juga terdapat di Srilanka, Madagaskar, Afrika Selatan, New Caledonia dan Suriname. Tapi Melayu tak pernah memerankan diri sebagai Java Major dan Java Minor sebagaimana Marco Polo membedakan antara Jawa dengan Sumatera. Ketika mengunjungi Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Cina, Marco Polo menyebut secara simplistis pulau Jawa sebagai Java Major meski Jawa tak sebesar Sumatera. Tapi, dilihat dari sudut pandang keindonesiaan modern, boleh jadi Jawa memang Major karena sisi peradaban Mataram Hindu sampai Mataram Islam yang memukau dan berdaya lebih daripada Sriwijaya sampai Aceh Islam di Sumatera.

Melayu memang pernah merasa terbelah ketika gaung anti nekolim menerpa Indonesia era demokrasi terpimpinnya Soekarno. Tiba-tiba saja, Melayu merasa berbeda searah garis tapal batas demografis. Ambisi Soekarno yang ingin menjadikan Maphilindo (Malaysia, Philipina, Indonesia) sebagai satu kesatuan merupakan khazanah politik literal yang sah-sah saja, karena Melayu memang pernah dipersatukan di era imperium Majapahit. Melayu tiba-tiba menjadi sebuah narasi besar politik romantis yang terasa galau kalau tidak dituruti.

Ide Melayu Raya terasa manis di lidah. Gagasan ini bukan monopoli Soekarno semata. Jauh sebelum Soekarno terkenal di pentas internasional, seorang sejarawan Melayu, Abdul Hadi Haji Hasan mengeluarkan ide tentang bersatunya Indonesia dan Malaysia. Sebuah ide yang berangkat dari konstruksi sejarah karena ditempa oleh referensi dialogis tentang historisitas Indonesia dan Malaysia sekaligus. Gagasan besar ini diteruskan oleh murid-muridnya diantaranya Harun Aminurrashid yang begitu menyadari bahwa keterpisahan Melayu kedalam Indonesia, Malaysia, Filipina sebenarnya disebabkan berlainannya para penjajah. Indonesia dijajah Belanda, Malaysia oleh Inggris dan Filipina oleh Spanyol.

Ras Eropalah sebenarnya yang membelah Melayu menjadi hampir tujuh negara Asia Tenggara meski Filipina dan Thailand tak sepenuhnya Melayu. Penjajah pulalah yang menjadikan Melayu tersebar sejak Srilanka sampai Cape Town. Tapi tidak semua diaspora Melayu disebabkan kolonialisme. Jiwa bahari Melayu progresiflah penyebab Melayu tersasar sampai Madagaskar dan Mauritius.

Kini, Melayu dapat didefinisikan secara ganda. Pertama, Melayu adalah ras khas Nusantara, sebagai sebuah bangsa yang berhimpun didalamnya ratusan etnis sejak Jawa, Madura, Dayak sampai etnis Melayu di Malaysia. Definisi pertama ini menunjukkan bahwa Melayu adalah ibu kebudayaan segala suku nusantara. Melayu merangkum semua etnis nusantara. Tapi, Melayu dapat pula diartikan sebatas etnis Melayu yang kini berdomisili di Riau, Malaysia, Sambas, Sabah, Jambi dan sekitarnya. Dari definisi kedua, Melayu adalah nama etnis lokal yang eksistensinya bisa disejajarkan dengan Jawa, Batak, Bugis dan etnis lain nusantara.

Definisi ganda ini pulalah yang menyebabkan Melayu pernah berebut panggung kekuasaan dengan Jawa. Frans Van Lith, seorang pastor Katolik era kolonial dengan sangat keras menolak penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Bagi kalangan misionaris, bahasa Jawa harus diutamakan karena dianggap lebih netral daripada bahasa Melayu yang terislamkan. Sebuah nalar yang sebenarnya minor, karena bahasa Jawa sendiri telah banyak menerima konsep-konsep Islam dalam ruh dan raganya, dan Kristen tak pernah benar-benar mengkristenkan Jawa.

Mungkin Van Lith tak tahu bahwa Pangeran Wijayakrama, raja Jayakarta ketika berdialog dengan orang Belanda menggunakan bahasa Melayu. Ketika menghardik Peter Van Broeke, Pangeran Wijayakrama berkata “ Orang Ollanda pitsiara keras, condati dialo mau berkeji juga, mau mufakat mufakat lagi” (Uka Tjandrasasmita:2009). Bahasa Melayupun juga digunakan dalam pelajaran agama Kristen di Fort Jakarta waktu Belanda menguasai Batavia.

Hikayat-hikayat Melayu tak pernah benar-benar memusuhi Jawa kecuali sebatas peneguhan superioritas dan flamboyanisme di tengah arus dominasi Jawa masa kemudian. Ketika dominasi Majapahit demikian ketatnya, maka lahir hikayat Hang Tuah yang menunjukkan flamboyanitas Hang Tuah sebagai pejuang Melayu yang unggul atas pembesar-pembesar Majapahit. Meski Hikayat Hang Tuah merupakan gabungan antara dongeng dan sejarah, tapi nilai intrinsiknya meneguhkan satu simbolitas keterkaitan antara Melayu yang berada di pinggir (Malaka) dengan Melayu yang berada di poros utama (Majapahit). Sifat anti Jawa yang muncul dalam Hikayat Hang Tuah tak lantas memutus romantika Melayu-Jawa. R.O Winstead, pakar sastra Melayu menyebut Hikayat Hang Tuah sebagai Malayo-Javanese Romance. Hikayat Hang Tuahpun tak pernah mendudukkan Jawa sebagai bukan Melayu.

Kini, tak ada perdebatan semacam itu. Tak ada lagi Jawa versus Melayu. Tak pernah pula muncul ke permukaan Melayu Major dan Melayu Minor. Dua entitas besar Melayu, Indonesia dan Malaysia tak pernah berebut menjadi Melayu paling asli. Malaysia bangga dengan klaim The Truly  Asia yang menunjukkan realitas Cina, India dan Melayu sebagai satu sinkronisasi. Indonesiapun bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika yang memandang Melayu sebagai narasi akbar nusantara sekaligus satu narasi diantara kumpulan ratusan narasi nusantara lainnya. Jika ada problem antar dua negara, jelas bukan karena soal Melayu tapi soal lain.

Penulis adalah Alumnus FISIP UNEJ. Berdomisili di Sumenep

Tinggalkan komentar